12. Lima

39 4 0
                                    

Benalu.

Kata-kata itu terus berkeliaran di kepalanya. Setelah Cheryl dengan lancang dan tegas menyebutnya dengan kata itu, Gevan mulai mengintrospeksi dirinya sendiri. Bertanya pada diri sendiri apakah benar ia adalah benalu.

Belakangan ini hal yang memicu mental dan pikirannya adalah kata-kata yang keluar dari mulut Cheryl. Semua kata-kata kasar yang Cheryl katakan padanya, membuat ia merasa bahwa dirinya benar-benar tak berguna.

"Gue... Benalu?"

Jika bisa memilih, Gevan juga tidak ingin sakit seperti ini. Tidak ada seorang pun yang ingin menderita di dunia ini. Gevan mau kebebasan, ia selalu ingin sehat. Tanpa harus merasakan sakit yang teramat sewaktu-waktu.

Gevan tidak marah pada Tuhan, ia tau Tuhan memberinya rasa sakit ini, karena Tuhan percaya kalau dia adalah orang yang kuat. Tapi kenyataannya, Gevan tidak sekuat itu, Tuhan... Gevan tidak bisa terus menerus menopang semua rasa sakit ini sendirian.

Gevan ingin terlahir sehat, agar tidak membuat orang-orang di sekitarnya merasa terbebani dengan kehadiran dirinya.

***

Kedatangan Cheryl ke rumah sakit untuk menjenguknya mungkin akan mengejutkannya. Tapi sekarang Cheryl datang ke rumah sakit di saat Gevan tengah tertidur. Jadi laki-laki itu tidak tau jika istrinya menjenguknya.

Cheryl menatap Gevan yang masih terlelap. Wajah Gevan sangat tenang dan damai kala laki-laki itu masih berada di alam mimpi. Cheryl sengaja tidak membangunkan Gevan, ia hanya berdiri di samping ranjang dan menatap wajah milik laki-laki itu.

Hening.

Tidak ada suara lain selain bunyi beep dari monitor itu. Sejujurnya Cheryl datang ke rumah sakit bukan karena niatnya, dan juga bukan karena rasa bersalah akan sikapnya yang jahat terhadap Gevan sebelumnya. Itu semua karena paksaan dari sang ayah, yang membuatnya lagi-lagi merasa bahwa Gevan adalah faktor dirinya tidak memiliki kebebasan.

Tatapannya dingin, tidak ada rasa simpati yang terlihat dari raut wajahnya saat melihat suaminya sendiri terkapar di ranjang rumah sakit. Melihat Gevan seperti ini tidak membuatnya merasa kasihan, justru semakin menganggap bahwa Gevan adalah beban untuknya.

Seandainya laki-laki ini tidak bersikap menjadi pahlawan dan menerima perjodohan yang dibuat oleh sang ayah, mungkin dirinya masih terbebas dari pernikahan yang sangat ia benci ini.

Karena menurut Cheryl, Gevan hanyalah beban.

***

"Gevan, maaf Papa nggak bisa jenguk kamu sekarang-sekarang. Papa lagi di luar kota untuk dinas. Papa nggak dapat izin buat balik ke sana, jadi Papa titipin Gevan sama Mama, ya, kalau ada apa-apa datang ke rumah, jangan disembunyiin."

Gevan mendengar suara Sandi lewat panggilan telepon itu. Dirinya kini sedang bersiap untuk pulang setelah tiga hari ini beristirahat di rumah sakit.

"Iya, Pa. Jangan khawatir, lagian Gevan juga udah mendingan, kok. Mama temenin Gevan di rumah sakit dari kemarin," kata Gevan. Ia menjepit ponselnya di antara telinga dan bahunya, sementara kedua tangannya tengah mengikat tali sepatunya.

Orang di seberang sana menghela napas lega, "Oke, sabar dulu, ya, Nak. Pelan-pelan pasti bisa sembuh," katanya.

Gevan tersenyum mendengar sikap optimis dari Sandi. Walaupun kenyataannya sudah jelas bahwa penyakitnya tidak bisa disembuhkan, tapi orang-orang di sekitarnya tetap memastikannya bahwa pasti ada harapan untuk sembuh.

"Iya, Gevan nggak apa-apa. Jangan khawatir, Gevan udah nggak terlalu sesek, jadi bakal baik-baik aja."

"Hmm. Kalau ada apa-apa, bergantung aja sama Cheryl. Papa nikahin kalian berdua buat saling bantu," kata Sandi.

Seperti kenyataannya, Sandi tidak tau apa yang terjadi di pernikahan antara Gevan dan Cheryl. Sandi selalu memberi wejangan tentang rumah tangganya dengan Cheryl. Karena Sandi ingin mereka memiliki hubungan yang baik. Sandi selalu mengharapkan Gevan dan Cheryl memiliki waktu yang baik untuk menjalin hubungan mereka, walaupun kenyataannya itu semua tidak terjadi.

***

Sudah dua hari Gevan tidak pergi ke sekolah, lantaran ia harus dirawat di rumah sakit. Siang ini, hujan mengguyur kota. Semua murid-murid bermalas-malasan di kelas mereka. Walaupun di cuaca dan suasana seperti ini memang enaknya adalah bersantai-santai dan tidur, tapi pelajaran yang menuntut mereka untuk harus tetap mengerjakan tugas mereka.

Guru sedang memperhatikan murid-muridnya, memastikan tidak ada yang saling menyontek.

Di tengah sunyinya suasana kelas, Riki mencolek pinggang Gevan dengan pulpen. Mengerti apa yang akan terjadi selanjutnya, Gevan menegakkan duduknya agar bisa mendengar dengan jelas apa yang akan Riki katakan.

"Nomor dua puluh, please..." Riki berbisik dengan suara paling rendah.

Gevan melihat sekitar, memastikan perhatian guru itu tidak tertuju ke arahnya. "A."

Riki mengerutkan keningnya merasa tidak percaya pada jawaban yang diberikan Gevan, lalu ia berbisik lagi, "Boong, si Zaki jawabannya C."

Gevan mengangguk sekali, lalu bergegas fokus pada tugasnya saat guru itu menatap ke arahnya.

Beberapa saat setelah memastikan keadaan mulai aman untuk tanya jawab, Riki kembali mencolek pinggang Gevan dengan pulpennya. "Lo boong, ya?"

"Iya."

Riki berdecak sebal, ingin rasanya ia berteriak dan menyebutkan nama-nama hewan di telinga Gevan. Tapi Riki tidak mau kalau akhirnya ia akan dikeluarkan dari kelas dan disuruh merapikan gudang. Lalu ia menatap ke arah Ethan yang terlihat fokus saat mengerjakan tugasnya.

"Setan, nomor dua puluh," Riki berbisik, meletakkan tangannya di pinggir bibir.

Ethan menatap kertas jawabannya, lalu menatap Riki dan berbisik. "D."

Riki menghela napas, lelaki mana lagi yang harus ia percaya? Ketiga jawaban temannya berbeda, lalu jawaban mana yang harus Riki ambil?

Lalu tatapannya teralih pada gadis yang duduk di samping kirinya. Riki mengedipkan matanya, masih sempat bersikap genit di tengah-tengah situasi ujian yang serius seperti ini.

Gadis itu mengerutkan keningnya, bingung. Lalu ia melihat gerakan bibir Riki yang menyebutnya nomor untuk ditanyakan jawabannya.

Tanpa pikir panjang, gadis itu menjawab lewat bisikan juga. "A."

Riki menatap Gevan yang sedang melirik ke arahnya, seakan tatapan temannya itu mengatakan, 'Udah dikasih tau malah ngeyel'. Riki mendengus sebal dan tidak menjawab. Ia ingin berteriak, tapi untuk saat ini ia akan menyimpan amarahnya sampai besok.

Lalu Riki menatap ke arah gadis itu dan memberikan flying kiss sebagai ucapan terima kasih. "Sekalian nomor dua puluh satu sampai empat puluh dong, Cantik."

Tak segan-segan, saat itu juga gadis itu mengacungkan jari tengahnya pada Riki.







***

Tbc.

𝐆𝐄𝐕𝐀𝐍Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang