Pentas seni akan diadakan kurang dari dua minggu. Tapi justru kondisi Gevan belum kunjung membaik. Gevan merasa tidak enak hati jika ia terlihat seperti beban di saat semua orang bekerja. Bukan permintaan Gevan, melainkan teman-temannya yang meminta Gevan untuk beristirahat saja jika dia sedang sakit. Gevan tidak mau jika hanya diam dan duduk, dia tetap membantu walaupun itu ringan, setidaknya dia tetap menjalankan tugasnya sebagai anggota OSIS.
Ponselnya bergetar, pesan masuk. Gevan menyalakan ponselnya lalu melihat kontak yang membuatnya menghela napas.
Dr. Bobby.
| Hari ini jangan lupa check up ya
Nggak bisa kayaknya hari ini |
Saya sibuk di sekolah, maaf || Minggu kemarin kamu juga batalin check up
| Jadi tolong hari ini datang yaGevan menyimpan ponselnya di saku, memilih untuk tidak menjawab pesan itu. Dulu, saat kecil, tiap kali ada pertemuan dengan dokter Bobby, Gevan senang. Pikiran polosnya kala itu terus berpikir kalau dia akan sembuh jika pergi ke rumah sakit dan mendapat perawatan khusus dari dokter. Semua perlakuan istimewa itu membuat Gevan senang, karena di sana ada harapan untuk sembuh.
Sekarang juga sama, Gevan masih tetap berharap untuk sembuh dan selalu. Tapi yang membuatnya beda dengan masa kecilnya adalah kenyataan bahwa penyakitnya tidak bisa disembuhkan.
Gevan membawa tumpukan buku di tangannya. Kondisinya yang lemah membuat ia merasa tidak kuat dengan hanya membawa buku-buku itu. Gevan melangkah ke arah gudang, entah kenapa gudang itu terasa sangat jauh dari tempatnya berdiri saat ini.
Cheryl yang menatap Gevan dari kejauhan, berdecih. Ia memutar bola matanya dan berjalan ke arah Gevan. Cheryl merampas tumpukan buku-buku itu dari tangan Gevan, membuat laki-laki itu tersentak.
"Gue aja yang bawa," kata Cheryl. Dia merasa kesal ketika melihat Gevan berjalan dengan lambat seperti itu.
"Berat, Cheryl," Gevan mencoba untuk mengambil alih buku-buku itu dari Cheryl. Namun gadis itu menolak dengan kasar.
"Ini nggak berat, emang dasar lo aja yang lemah," sinis Cheryl, dia terus melangkah. "Pulang aja, daripada kehadiran lo di sini cuma bikin yang lain ikutan pusing sama tingkah lo," lanjut Cheryl, seolah apa yang diderita Gevan bukan apa-apa baginya.
"Kamu nggak ngerti, aku juga nggak mau kayak gini..." Gevan berkata dengan pelan.
"Ya makanya, urus diri lo. Kalau lo nggak bisa jaga diri lo sendiri, gimana bisa lo jaga gue?" Cheryl menatap Gevan dengan tatapan tajam, tidak terlihat sedikit pun rasa simpati terhadap Gevan.
"Itu beda, aku ngelakuin ini semua juga karena Papa—"
"Lo lagi-lagi mau bilang ini soal balas budi? Sifat sok pahlawan lo itu yang bikin gue kejebak di pernikahan nggak jelas ini. Nggak perlu balas budi, nggak ada yang untung di sini."
Untungnya saat ini tidak ada orang lain di sekitar mereka, jadi tidak ada yang mendengar percakapan mereka. Gevan hanya menatap Cheryl yang melangkah pergi. Sakit... Gevan sakit hati. Gevan tidak perlu dikasihani, Gevan hanya perlu didengar. Siapa yang bisa mendengar semua cerita tentang perasaan Gevan? Tidak ada. Jika ada, itu hanya ibunya.
Lututnya terasa lemas, walaupun Cheryl sudah lenyap dari pandangannya, tapi semua perkataan Cheryl masih bersarang di otaknya.
***
Wangi obat-obatan, ruangan serba putih dengan suasana yang tenang dan sunyi. Gevan kembali ke tempat ini. Tempat yang selalu dia kagumi saat masih kecil, tapi tidak dengan sekarang. Hanya karena mencium wangi obat-obatan, Gevan rasanya tidak nyaman. Tapi kali ini Gevan masih tetap mengharapkan kesembuhannya.
Pria berusia setengah abad itu duduk di hadapan Gevan sambil tersenyum. Jas putih, kacamata yang bertengger di batang hidungnya, juga pulpen yang berada di tangannya menulis tulisan yang sulit dibaca; khas dokter, semua itu kembali Gevan lihat sejak terakhir kali.
Dokter Bobby bertanya tentang kondisi Gevan, apa yang laki-laki itu rasakan akhir-akhir ini, dan hasilnya tetap sama seperti yang sebelumnya. Belum ada perubahan yang mengatakan bahwa kondisi Gevan membaik. Gevan juga mengatakan bahwa batuk berdarahnya semakin sering terjadi, dan itu sangat mengganggu.
Dokter Bobby lagi-lagi memastikan bahwa Gevan jangan sampai telat minum obat atau menundanya. Pemeriksaan kali ini berakhir dengan dokter Bobby yang menambahkan obat untuk Gevan.
"Tiga kali sehari, ya, jangan sampai nunda," Dokter Bobby memberi resep obat yang harus Gevan minum, sebelum dia berbicara lagi.
"Stadium empat... Beneran nggak bisa sembuh?" tanya Gevan, terlihat dari wajahnya yang tampak putus asa.
Dokter Bobby membeku sejenak, "Itu... Kanker stadium empat biasanya nggak bisa disembuhkan. Tapi, Gevan," Dokter Bobby menatap Gevan, dia memberi senyuman dan tatapan mata yang menyorotkan agar Gevan tidak putus asa.
"Kami bisa bantu dengan pengobatan dan terapi agar gejala penyakitnya bisa berkurang." Dokter Bobby menghela napas, dia menyatukan kedua tangannya di atas meja setelah membenarkan posisi kacamatanya.
"Tolong jangan putus asa, Gevan. Mental dan pola pikir kamu juga berpengaruh untuk kesehatan kamu. Saya tau kenyataan ini memang berat, tapi saya nggak bisa nutupin dari kamu. Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk bantu kamu. Jadi saya minta tolong untuk rajin periksa, juga jaga pola makan dan kesehatan mental kamu, karena itu semua juga penting."
"Tolong... Saya mau sembuh. Saya punya istri yang harus saya jagain.."
***
Gevan menggeser tombol hijau di layar ponselnya untuk menjawab panggilan itu. Dia meletakkan benda pipih itu di telinganya, mendengar suara milik Riki.
"Van, nanti malem gue ke rumah lo buat ambil buku cetak gue, ya?"
Gevan mengerutkan keningnya, merasa bingung. Dia tidak merasa pernah meminjam buku yang temannya maksud itu. "Buku cetak?"
"Iya, kemarin beres dari ruang musik, gue lupa malah masukin buku gue ke tas lo."
"Ohh, gue aja yang anterin ke rumah lo."
Orang di seberang sana mendesah kecewa, "Yahhh jangan, sekarang gue lagi di tempat renang. Nanti malem pokoknya gue kabarin, oke?" Riki buru-buru memutuskan panggilan itu sebelum mendapatkan protes dari Gevan.
***
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐆𝐄𝐕𝐀𝐍
Fanfiction❝Bukan kamu yang nggak pantas untuk bahagia, Gevan. Tapi dunia yang terlalu jahat buat kamu.❞ Gevan Sarendra, remaja yang didewasakan oleh kehidupan sebelum waktunya. Memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk orang-orang di sekitarnya ♛♛♛ A teenf...