Kisah Si Penunggu UKS (3)

836 53 1
                                    

Matanya yang elok itu harusnya enggan memandangi mata gue yang nampak lelah dan merah. Kulitnya yang mulus itu harusnya jijik bersentuhan dengan kulit gue yang kasar dan dekil.

Itu isi kepala gue akhir-akhir ini. Low self esteem gue memang sudah mendarah daging. Dan itu diperparah ketika perasaan gue ke Anaya tumbuh.

Gue benar-benar gak pantes buat dia. Seandainya gue gak menyelamatkan hidupnya waktu itu, dia masih mau, gak, ya, temenan sama gue? Pasti dia sendiri ogah.

2 minggu belakangan, gue sering ketemu sama Anaya di UKS ini. Kita mengobrol tentang banyak hal. Makin hari, perasaan gue ke dia makin dalam. Jantung gue selalu berdetak melebihi 100 detak per menit tiap di sebelahnya. Kadang gue juga sampe keringat dingin.

Anaya tipikal anak yang cerewet dan ekspresif, dia gampang sekali untuk mengungkapkan suasana hatinya. Entah dia sedang senang karna memenangkan pertandingan, dia sedih karna harus dimarahi guru biologi sebab bukunya ketinggalan, dia ketakutan setelah menonton The Conjuring. Gue udah dengar semua cerita dan keluh kesahnya, dan gue selalu menanti kedatangannya. Kehidupan hambar gue tiba-tiba jadi manis karnanya—terlalu manis—sampai hampir diabetes.

"Hai!" sapa Anaya, dia memang begini. Dia suka datang bagaikan angin, tidak bisa gue lacak sebelum dia benar-benar menunjukkan dirinya.

"Hai juga," sambut gue, mengulas senyum yang sudah tak kaku lagi. Aku sudah merasakan chemistry di antara kita.

"Bawa apaan, tuh?" tanya gue, mengarahkan telunjukku kepada tas bekal merah jambu bergambar kelinci. Ah, semua yang berkaitan tentangnya selalu imut!

Anaya nyengir sambil mengacungkan tas bekal itu tinggi-tinggi. "Happy birthday, Lydia!" Anaya mengucapkannya dengan sumringah, selayaknya anak kecil yang berharap dapat pujian dari ibunya.

Gue mengernyitkan kening gue. Gue gak pernah inget ulang tahun gue sendiri, ultah gue gak pernah dirayakan. Gue gak pernah punya temen buat merayakannya dan ortu gue gak merayakan ulang tahun karna mereka termasuk aliran agama Kristen yang menolak ulang tahun, setidaknya itu yang keluarga gue percayai. Katanya, ulang tahun itu ritual Paganisme. Ya, keluarga gue merupakan Kristen yang sangat taat. Gue gak tau kenapa anaknya bisa kayak gini.

"Kok diem aja? Suprise gue kurang, ya? Haduh, harusnya tadi gue bawa terompet sekalian!" Seperti biasa, dia mengatakan itu dengan raut polos.

Gue menggelengkan kepala dengan pelan, lalu tersenyum lebar ke arahnya. "Thank you! Btw, dari mana lo tahu gue hari ini ultah?"

"Indra," jawabnya sambil membuka tas bekal itu. Dia mengeluarkan kotak bekal berwarna ungu dengan corak polkadot yang tidak kalah lucunya dengan tas itu, kemudian dia membukanya. Di dalamnya berisi 3 potong kue cake dasar yang didekorasi seadanya.

"Indra?"

"Iya. Pacar gue. Yang bopong gue pas pingsan waktu itu. Dia, kan, sekretaris kelas lo? Kata dia, dia kemaren sempet disuruh buat bantu guru nulis biodata murid-murid. Nah, dari sana dia liat tanggal ultah lo."

Deg. Seolah hati gue baru saja dihantam oleh hiu megalodon. Hancur berkeping-keping. Bukan cuma hancur, tapi kepingannya tenggelam di dasar lautan.

Gue bener-bener gak tau harus dibawa kemana perasaan gue ini, itu sudah tenggelam ... dan gue gak mau ikut tenggelam bersama kepingan itu. Dia, sudah milik seseorang, dan gue harus merelakannya.

Pikiran gue mengawang entah kemana. Anaya secara mendadak menyodorkan gue sepotong kue buatannya itu, membuat gue kembali tersadarkan. Dia tersenyum ke arah gue. Gue merasa ditampar keras oleh senyuman itu, gue berasa dihina oleh senyuman itu. Seolah dia bilang: lo itu cuma temen yang gue temuin 2 minggu belakangan, bisa-bisanya lo ngarepin gue.

Gue mengulurkan tangan gue untuk mengambil kue yang ada di tangannya, seketika tangan gue kebas saat menyentuh kue itu. Namun, gue paksain tangan gue untuk menyuapi diri gue sendiri.

Kemanisan, seperti dia.

Dia terlalu manis buat gue.

Gak enak.

Setelah menelannya, entah kenapa rasa pahit menjalar ke seluruh lidah gue. Tadinya ini manis, kenapa menjadi begitu pahit?

Wajah polos dipenuhi oleh rasa penasaran itu terus melihat gue. "Gimana rasanya?" Anaya bertanya, dia memelotot dan terlihat sangat tidak bisa menanti jawabannya.

Setitik air mata meluncur bebas ke pipi kiri gue, bahkan gak memberi kesempatan untuk gue menahannya. Anaya yang tadinya semangat dengan jawabanku, sekarang terlihat khawatir, tapi dia tetap diam, setia menunggu jawaban dari gue. Dengan terisak gue menjawab, "Ancur, Nay, rasanya..."

Cinta Ruang UKSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang