III - Simulasi Cerai

13 6 3
                                    

PULANG adalah salah satu hal paling menyebalkan dalam hidupku sejak beberapa bulan lalu.

Alasannya sederhana: tidak ada Niro di rumah, dan aku masih cukup waras hingga tidak bisa berpura-pura kalau rumah kami memiliki sesosok Niro jadi-jadian yang diletakkan dalam stoples kaca---atau lemari kaca, dalam ukuran besarnya.

Hal kedua yang kubenci adalah keberadaan makhluk lain di rumah. Misalnya, Mama atau Papa atau keduanya sekaligus. Super menyebalkan! Bayangkan saja terkurung di labirin penuh jebakan bersama dua orang kawan yang kerjanya cuma jadi beban.

Terbayang?

Aku sih, tidak. Papa dan Mama bukan kawan dan mereka bukan beban tim, tapi beban pikiranku.

Jam sebelas lewat sedikit, aku tiba di rumah; lelah dan waswas akibat senyuman aneh Niro. Biasanya bangunan putih dua lantai dengan teras lebar dan garasi sempit itu sepi dan dingin. Namun, suasana memuakkan dari ketiadaan manusia mendadak hilang saat kulihat mobil Papa terparkir di halaman.

Aku lebih suka melihat kuntilanak daripada benda sialan itu.

Tanpa pikir dua kali, aku merangkak ke taman samping, berhati-hati tidak membuat suara, dan cepat-cepat masuk kamar lewat jendela.

Semua aman.

Jendelaku tidak pernah terkunci kalau aku pergi---hanya aku yang bisa membukanya dari luar, untuk beberapa alasan yang tidak boleh kalian tahu. Pintu kamarku sebaliknya: selalu terkunci; selalu menolak kehadiran orang lain, termasuk pembantu yang ingin membersihkan sarang berantakanku.

Aku tidak keberatan kalau Bi Ijem yang masuk dan mengotak-atik kamar agar kembali cantik dan wangi. Sayangnya, Bi Ijem dipecat Mama lima bulan lalu, katanya gara-gara ketahuan mencuri sayuran, sabun mandi, dan kawat cuci piring---aku tidak mengerti, kenapa barang kecil begitu saja dipermasalahkan? Padahal kan, Bi Ijem baik dan cekatan.

Mama aneh.

Aku berharap Mama tidak ada di rumah. Tidak ada hal baik kalau Mama dan Papa ada di rumah dalam waktu bersamaan, setidaknya sejak enam tahun lalu. Mereka seperti rival yang dipaksa tinggal serumah---Naruto dan Sasuke bahkan lebih akur kalau dibandingkan dua manusia itu.

"Semua ini salah kamu, Mas!"

Jam dua kurang, suara Mama menggelegar dari ruang tengah. Sepertinya dia baru pulang dan tidak menyangka suami tercintanya juga ada di rumah. Aku bangun dari tidur ayamku, pusing gara-gara suara Mama dan Papa yang entah meributkan apa.

Dalam kondisi dua pertiga sadar, otakku berbaik hati memunculkan potret Niro. Awalnya cerah ceria saja berlatarkan matahari pagi. Lalu tanpa diminta, senyum anehnya tadi malam terbayang begitu jelas sampai aku merinding sendiri.

Niro menerorku. Tidak terbayangkan sebelumnya, senyum Niro yang indah bisa berubah menakutkan kalau latar belakangnya gelap. Tetapi, kuharap dia melakukannya setiap malam, agar aku tidak perlu sengaja menonton video seram hanya untuk mengalihkan pikiran.

"Jangan ribut, nanti Feira bangun." Suara Papa yang teredam emosi menarik perhatianku.

Aneh sekali. Biasanya Papa tidak peduli anaknya sedang apa.

"Halah!" Mama menghardik.

Kenapa juga Mama pulang? Dan setan macam apa yang membuat Papa masih bangun malam-malam begini?

Lebih baik aku gila daripada mendengarkan dua mahluk di luar sana simulasi bercerai---sialannya, baik Papa maupun Mama punya terlalu banyak akal sehat, jadi mereka belum pernah benar-benar saling lempar talak.

Sayang sekali.

Padahal aku sudah latihan jadi anak broken home jalur perceraian yang baik dan benar.

Latihanku jadi sia-sia. Papa Mama sialan.

Crushing Crush Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang