IV - Pojok Niro

2 3 0
                                    

Aku lelah dan ingin tidur pulas. Sambil memikirkan itu, aku bangun, sempoyongan sebentar, lalu menghampiri lemari keramat tempat Pojok Niro berada.

Sesuai namanya, Pojok Niro berisi Niro dalam bentuk dua dimensi. Sayangnya. Suatu hari nanti Niro yang asli pasti aku miliki juga. Tinggal masalah waktu dan keberanian. Dan kesempatan, tentu saja. Kalau ada kesempatan, aku pasti langsung menculik Niro ke gudang untuk diubah jadi pajangan!

Lemari kayu jati tua tempatku menyimpan rahasia konon sudah ada di sana selama tiga puluh tahun. Pada kedua pintunya ada cermin, tingginya dua meter. Wangi pernis yang bercampur parfum beraroma laut meredakan sakit kepalaku.

Lemari itu berdiri angkuh seperti guru tua yang besar kepala.

Di rak-rak kokohnya, terpajanglah belasan foto Niro berbingkai plastik. Ada juga puluhan foto lain yang tanpa bingkai, menutupi hampir seluruh permukaan kayu bagian dalam seperti kertas dinding aneka warna. Di balik pintunya aku menempel lukisan dan sketsa Niro. Di rak paling atas, tersimpan benda keramat: tulisan tangan Niro, gespernya yang rusak dan dia buang di tempat sampah dekat koperasi sekolah, juga pensilku yang pernah dia pinjam---Niro tidak sengaja menggigiti ujungnya karena kehabisan ide waktu diminta membuat sketsa gedung bertingkat.

Aku mengambil sebuah foto, mengunci pintu lemari, dan beranjak ke tempat tidur. Suara Papa dan Mama mulai hilang. Mungkin mereka sadar diri dan bertengkar di tempat lain.

Atau, semoga, mereka sudah saling lempar talak dan sedang mengurus harta gono-gini.

Saling lempar pisau pun tidak apa-apa, sebenarnya. Aku malah senang kalau besok pagi menemukan mayat-pengalaman baru! Kapan lagi bisa menjadi keluarga tersangka pembunuhan?

"Semoga aku mimpi kamu." Aku berbisik pada Niro dalam foto. Kucium dia sampai jatuh tertidur.

🔹••• 💠 •••🔹

Alarm membangunkanku jam empat dua puluh. Sambil berharap Papa dan Mama sudah lenyap dari muka bumi, aku beranjak ke kamar mandi.

Di dalam kepalaku otomatis terputar lagu-lagu galau. Aku suka bernyanyi sambil mandi dan nongkrong di WC. Kadang-kadang iseng mendendangkan Lingsir Wengi, tapi tidak ada setan yang menjawab panggilanku.

Jam lima kurang enam menit, aku selesai bersiap-siap. Dengan semangat membara kusambut hari baru yang cerah---semoga cerah, soalnya matahari belum terbit waktu aku berangkat sekolah.

Jarak dari rumah ke sekolah cuma sepuluh menit jalan kaki, tapi karena aku mampir dulu ke tempat Niro, jaraknya bertambah dua kali. Sebuah pengorbanan yang pantas demi cintaku pada sang matahari.

Pagi itu, aku mengambil posisi wuenak di balik rumpun pohon pisang agar bisa mengamati halaman rumah Niro yang luas. Udara yang sejuk membuat sisa-sisa sakit kepalaku lenyap sepenuhnya. Namun, rupanya Tuhan berkehendak lain.

Ya ampun. Tuhanku yang Maha Baik nan Benar telah memberi kejutan tidak terkira!

Aku yakin jantungku melompat keluar lewat lobang hidung, waktu melihat seorang cewek keluar dari rumah Niro. Iya, cewek! Perempuan! Betina! Orangnya lumayan cantik dan agak kurus. Dia tidak mirip Niro.

Siapa dia?

Keluarganya?

Sejak kapan orang itu ada di sana?

Aku cepat-cepat mengambil ponsel dan memotretnya. Ini penemuan baru! Harus segera aku selidiki lebih lanjut!

Crushing Crush Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang