V - Dukungan Ilegal

9 8 2
                                    

PAGIKU yang cerah lenyap seketika. Aku tidak bisa berhenti memikirkan perempuan misterius yang subuh tadi keluar dari rumah Niro, berjalan-jalan di halaman, dan mengamati bunga serta semak dan rerumputan yang tumbuh di sana.

Karena pencahayaan yang kurang memadai, aku tidak bisa mendapat foto yang bagus. Tidak mungkin juga aku tanya-tanya ke Niro langsung, kan?

Atau mungkin?

Mungkin saja. Aku tinggal bilang tidak sengaja lewat di depan rumahnya waktu lari pagi, dan tidak sengaja melihat cewek itu, dan merasa tingkahnya mengamati segala hal di halaman agak aneh.

Alibi sudah kuamankan. Sekarang masalahnya tinggal satu: AKU TIDAK PERNAH NGOBROL DENGAN NIRO! Mana mungkin tiba-tiba aku dekati dia dan tanya macam-macam seperti itu? Memangnya aku gila?

Yah, aku hampir gila karena cowok yang suka minum jus apel itu. Aku jadi suka apel gara-gara Niro.

Apakah selanjutnya aku akan secara suka rela makan apel beracunnya Putri Salju karena Niro juga? Siapa tahu saja. Aku sih, tidak masalah selama makannya berdua Niro; lebih bagus lagi kalau disuapi Niro. Langsung dari mulutnya yang berbibir tipis, tapi agak kering itu--

"Astaga, Fei! Lu mikirin apaan sampai senyum-senyum sendiri?"

Nurina menggangguku seperti biasa. Aku menghela napas keras-keras, sengaja agar dia tahu aku sedang galau.

Bisa tidak, sih, cewek kuncir dua ini datangnya nanti saja? Tadi khayalanku sedang sampai di bagian terbaiknya!

"Woi!"

Sepertinya Nurina tidak puas kalau aku belum menjawab. Jadi aku menatap matanya sambil cemberut, lalu mencebik, "Simulasi jadi orang gila."

Hal itu sukses membuat Nurina tertawa. Dia menepuk-nepuk kepalaku, kemudian duduk di meja sambil bersikap sok dewasa.

"Fei, Fei ... kamu itu sudah besar, bisa bedain mana baik mana buruk. Jangan gila karna cinta, nanti menyesal. Kayak Kak Rina ini contohnya."

Orang gila mana yang menjadikan dirinya sendiri sebagai contoh buruk?

Dasar Nurina aneh. Sama saja seperti Mama yang hobi menjadikan dirinya patokan kesuksesanku.

Dulu Mama begini ... dulu Mama begitu ....

Kenapa aku tidak dibiarkan tenang sebentar?

Siapa cewek di rumah Niro itu?

Kenapa kelas hari ini ribut sekali? Kepalaku juga jadi berisik karena pertengkaran Mama Papa malam tadi.

Semuanya sialan. Dan di tengah kesialan itu, hanya Niro seorang yang mampu menghiburku.

Sekarang, dia duduk di bangkunya di barisan tengah sambil membaca novel bersampul merah yang belum sempat aku ketahui judulnya. Sesekali aku lihat dia tersenyum kecil---mungkinkah bacaannya lucu? Atau sekadar menarik? Ah, andai aku bisa membacanya juga.

"Ajak ngobrol, dong. Jadi cewek, kok, penakut banget!" Nurina mencebik kesal.

Aku hampir lupa dia masih duduk di meja di depanku.

Aku sedang menghitung tabungan untuk beli novel baru. Lalu merencanakan kejadian tidak terduga seperti ... aku dan Niro ternyata suka pada hal yang sama!

Lalu saat itu, mungkin ... mungkin aku akan punya keberanian yang cukup untuk mengajaknya bicara. Mungkin aku bisa bertanya lebih jauh tentang perempuan itu.

"Kalau lu gak nunjukin cinta lu, dia gak akan paham, bego. Tunjukin! Kasih paham dulu, diterima atau nggak itu urusan belakangan." Nurina menepuk pipiku, "tetep aja, kalau dia bikin lu nangis, bakal gue hajar."

Enteng sekali Nurina bilang begitu.

Tidak ada yang boleh menyakiti Niro kecuali aku!

Nurina berisik. Aku benci orang berisik yang sok tahu. Tapi aku tidak bisa benci pada Nurina. Aku suka dia. Dia temanku. Aku tahu dia benar. Lagi pula ... Mama pernah mengatakan hal yang sama.

Ah, Mama.

Waktu ingat perkataan Mama ... dadaku mendadak sakit. Aku memandang Niro lagi, tapi tidak bisa mendapat kesenangan seperti tadi.

Mendadak semuanya kehilangan warna. Aku benci. Harusnya Nurina membiarkan aku mengagumi Niro dari jauh seperti sekarang. Dia tidak perlu memaksaku bicara, kan? Dia tidak perlu memaksaku menunjukkan perasaan membara seperti cinta atau benci.

Harusnya Nurina diam saja. Kalau dia diam, aku akan makin menyukainya. Tapi, kalau dia diam, berarti Nurina sama saja seperti bonekaku di gudang. Aku bosan punya teman boneka. Aku suka nasehat Nurina. Aku suka teman yang bisa bicara dan punya banyak kemauan.

Satu-satunya yang kubenci adalah fakta kalau aku tidak akan sanggup menjalankan nasehat itu.

Akan tetapi, aku cinta Niro dan akan melakukan apa pun demi mendapatkannya. Nurina tidak perlu tahu. Dia tidak boleh tahu. Hanya teman bonekaku yang boleh.

Aku benci boneka. Aku suka kesunyian yang mereka suguhkan.

"Fei, kalau lu gak berani mulai duluan, gak ada yang akan terjadi."

Dukungan tulus Nurina mulai ilegal di telingaku.

_______________🥀
~ to be continued ~

Bekasi, 4 September 2023

Crushing Crush Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang