VIII - Berburu Anak Kecil

10 5 0
                                    

SETELAH DIPIKIR-PIKIR, sepertinya Segitiga Bermuda cuma bisa dipakai untuk menenggelamkan diri. Otakku yang tidak cemerlang baru menunjukkan eksistensi lagi setelah mempermalukan pemiliknya di hadapan gebetan tersayang.

Andai manusia bisa hidup tanpa otak, benda kenyal merah muda itu pasti sudah kubuang ke toilet terdekat.

Aku masih sibuk mengutuki diri sendiri saat kudengar tawa merdu Niro dari bangku belakang. Tawanya pelan dan kalem dan akan jadi suara tercandu yang ingin kudengarkan setiap hari.

Sialannya, aku belum juga membuka fitur perekaman suara di ponsel---yang dari tadi menganggur dalam kantong.

"Boleh juga, tuh." Niro bicara di tengah tawanya, "mau nyari di mana? Butuh bantuan, nggak?"

Figuran 1 dan 2 ikut tertawa. Dari bangku depan di samping supir, Akasha juga melongok penasaran.

"Niro ahlinya begituan," kata Figuran 1. "Lu tanya apa aja soal setan dan iblis, pasti dia jawab."

"Lu bisa pesugihan, Ro?" Nurina ikut-ikutan.

"Bisa. Gampang itu." Niro menjentikkan jari. Bisa kubayangkan senyum sombong di wajahnya.

Dia pasti tambah ganteng!

"Kalo pasang susuk?" Kali ini Nannaka yang tampaknya antusias.

"Hush, gak boleh. Nana udah cantik apa adanya." Sepertinya, Akasha ogah calon istri masa depannya dinodai oleh pemikiran iseng tersebut. "Aku sukanya yang original."

Celetukan itu mendapat respon dari bapak Akasha, si sopir sementara kami. Dia menjawel anaknya sambil tertawa meringis.

"Kecil-kecil, kok jago gombal? Anak siapa kamu?"

Wah ... aku hilang fokus sesaat. Akasha tidak diaku sebagai anak di depan teman-temannya sendiri. Rasanya lucu juga.

Malu tidak, ya?

"Anak Ibu, lah!" Dengan santainya cowok berambut cokelat itu menjawab, mengabaikan bapaknya yang geleng-geleng sambil meniru suara cicak---"ckckck".

Aku jadi penasaran, rambut cokelat Akasha itu alami atau tidak? Soalnya di sekolah tidak pernah kudengar dia dapat masalah.

Kalau warna rambut Akasha tidak alami dan tidak dapat masalah, aku juga mau mengecat rambut. Jadi merah seperti apel segar. Biar Niro tergoda dan memperhatikanku terus. Siapa tahu dengan itu kami bisa langgeng sampai pelaminan.

Ah, aku jadi tambah bernafsu menyeret Niro ke tengah jalan dan menyatakan perasaan di hadapan orang banyak.

Kalau seperti itu kira-kira Niro terganggu tidak, ya?

Jangan-jangan dia tidak suka diperhatikan?

Tapi selama ini Niro santai saja menjadi pusat perhatian. Pengetahuannya tentang iblis dan dunia persetanan memang lumayan terkenal. Beberapa anak dari kelas lain pun sering main dan ngobrol dengan Niro.

Kenapa ya, Niro tahu semua itu? Apa jangan-jangan benar tebakanku kalau dia sebetulnya raja iblis yang merangkap CEO perusahaan multi-nasional dan punya bisnis gelap skala global?!

"Aku juga gak rekomendasiin susuk. Pasangnya ribet, harganya mahal. Mending pakai herbal aja." Niro menyahuti ucapan Akasha yang tadi.

"Herbal apaan?" Kali ini Nurina yang bertanya, tapi nadanya kurang antusias.

Niro tidak menjawab. Mungkin dia menggeleng atau mengangkat bahu. Aku tidak berani melongok ke kursi belakang tempat Niro duduk diapit Figuran 1 dan Figuran 2. Kasihan jantungku. Kasihan juga otak dan hatiku.

Sialaaan!

Perjalanan ini menyiksa sekaligus menyenangkan sekaligus menggelisahkan. Aku bingung harus pilih yang mana. Aku galau lagi gara-gara cowok ganteng di kursi belakang. Membayangkan posisi kami yang sangat dekat membuat perasaanku makin tidak karuan.

Boleh tidak sih, kalau aku pingsan saja?

"Feira diem aja? Mabok lu?"

Entah Figuran 1 atau 2 yang bertanya---aku tidak peduli. Aku menggeleng dan entahlah.

Memangnya apa yang harus kukatakan lagi? Sial, sial, sial! Harusnya tadi aku melanjutkan pembicaraan tentang tumbal saja!

"Lagi mikirin tumbalnya mungkin. Mau nyari di mana, Fei? Toko oleh-oleh dekat vilanya Aka kayaknya bagus juga. Banyak anak kecil yang bisa diculik di situ."

Suara Niro yang masih kalem dan menenangkan terdengar seperti nyanyian malaikat di telingaku yang kerontang.

Ah, dia memang penyelamat!

"Jangan anak-anak, lah. Yang gedean dikit, biar dagingnya banyak!" Aku mencoba terdengar sebercanda mungkin. Entah berhasil atau tidak, tapi Figuran 2 dan Nurina kompak tergelak.

"Lu berdua cocok!" Nurina pasti sedang meledekku.

Aku mau marah dan menggeplak kepalanya pakai botol minum. Tapi kasihan Nurina, nanti sakit kepala padahal dia tidak mabuk darat.

"Lu jangan sering-sering ngobrol sama Niro, Fei." Figuran 2 menimpali, "kebanyakan tuker pikiran nanti malah dilakuin beneran."

Memangnya kenapa kalau aku dan Niro berburu tumbal bersama? Dibayangkan saja sudah menyenangkan. Aku mau cepat-cepat jadian sama Niro agar rencana itu bisa terlaksana segera.

"Padahal seru." Niro seperti bisa membaca pikiranku.

Memang seru. Pasti seru. Apa pun yang bersama Niro pasti terasa seru.

"Ikut aja, An. Nanti kita ajak Reo sekalian. Kali aja tumbalnya ada yang cantik," Niro menyenggol Figuran 1 yang dari tadi cuma diam menyimak sambil bengong menatap jendela.

"Gila lu!" Figuran 2 mencebik.

"Jangan ngomongin gituan terus, dong!"

"Kan, gue bilang si Niro agak gila kalo udah bahas yang beginian." Si Figuran 1 akhirnya menyeletuk. Mungkin dia lelah dengan tema obrolan yang sedikit ekstrim ini.

Di depan, bapaknya Akasha cuma geleng-geleng kepala sambil tersenyum lelah---aku melihatnya dari spion dashboard. Ekspresi wajahnya seolah bilang begini: "Anak-anak zaman sekarang ada-ada saja ...."

Senyumku mengembang sendiri tanpa diminta. Benar-benar hari yang bahagia; pantas diukirkan dalam catatan sejarah. Akhirnya aku bisa bisa ngobrol dengan seorang Niro! Akhirnya, kami punya topik pembahasan---betul-betul diajak berburu tumbal pun akan dengan senang hati aku turuti. Dan yang paling penting: aku mendapatkan rekaman suara dan tawa kecil Niro. Tinggal diedit sedikit dan sempurna sudah.

Niatku mengubur diri di Segitiga Bermuda sepertinya akan ditunda untuk selamanya.

Crushing Crush Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang