6. We Are Friends

16 3 0
                                    

Pura-pura tak peduli padahal sebaliknya.

-Lio Nyxbara-

***

Malam senin, Lio pulang dari Sun Coffe. Sisa harinya terasa berat dan sulit fokus, Lio tidak menyangka gadis itu akan bertanya kembali. Lio pikir Lia sudah tak mengingatnya sehingga ia bersikap biasa, kenyataannya tidak. Ia dibuat repot sebab mencari alasan logis untuk kembali ke coffe.

"Hei, Brother! Santai mukanya, dong. Kusut amat," komentar Aran sembari menguyah.

Arin mengangguk setuju. "Lio mirip Bang Kilo hari ini."

"Kok gue?" Kilo protes.

Semua karyawan hendak pulang, kebiasaan mereka adalah menunggu Kilo mengunci pintu Sun Coffe kemudian pulang bersamaan. Kilo kadang menginap tanpa diduga dan sakit setelahnya sebab terlalu banyak melakukan eksperimen di dapur, inilah yang menyebabkan tradisi menunggu Kilo adalah agenda wajib agar bos besar tetap sehat.

"Kan, Bang Kilo yang sensitif banget hari ini," sindir Aran.

Arin menjentikkan jari. "Benar!"

"Dasar Kembar Sinting!" Kilo mendengkus saat Aran dan Arin melakukan tos.

"Hari ini, selain Kilo ... ternyata Lio juga kena, ya," tambah Rika memperhatikan.

Rika yang paling peka pun mampu memahami teman-temannya. Setelah ia menyuruh Lio mengantar pesanan, remaja itu sudah bermuka masam saat kembali. Rika ingin bertanya, tetapi merasa tidak enak sebab Lio tampak berbeda dengan tatapan tajam. Ia belum pernah melihat hal yang mencolok seperti itu dari Lio.

Sementara itu, Lio memikirkan alasan terbaik saat menghadapi Lia nanti. Tidak mungkin ia terus menghindar dan berbohong sebab mereka satu sekolah dalam tiga tahun ke depan, beruntungnya tidak sekelas. Bahaya sekali jika Lio sekelas dengan Lia.

"Jangan ngelamun!" tegur Tamio memperhatikan Lio yang melamun.

Kilo, Aran, dan Arin menatap Lio dengan tanda tanya. "Kenapa?"

"T-tidak, kok." Lio menghindar dari tatapan teman-temannya.

Kilo menepuk pelan bahu lantas berbisik, "Kami adalah keluargamu."

Lio tersenyum, Kilo dan teman-temannya adalah keluarga baru yang sangat berarti meski dikatakan 'baru' sebagi keluarga. Ia menikmati kebersamaan mereka yang sangat berbeda dari banyaknya hal, Lio diam-diam bersyukur akan kedatangannya ke Sun Coffe.

Setelahnya, semua karyawan pulang menuju jalan masing-masing. Lio menggunakan sepeda menempuh waktu sepuluh menit, ia merasa senang dan bebannya terangkat.

"Ternyata pilihanku tidak salah," gumamnya.

Lio mampir ke minimarket lebih dulu, ia membeli bahan makanan yang perlu dibeli lantas membayarnya. Ada kemungkinan pagi ini, Lio membuat omelet dengan teh hangat. Anggota keluarga tentu tidak akan protes meski masakan Lio keasinan.

"Eh? Jam berapa sekarang?"

Lio melotot. "Aduh! Mereka sudah pulang belum, ya?"

Tanpa peduli kembalian recehan, Lio menaiki sepeda menuju rumah dengan kecepatan tinggi. Firasatnya buruk, ia merasa ada sesuatu yang akan terjadi di rumah. Selama ini, pekerjaannya belum diketahui orang tua dan abangnya. Jika pulang malam seperti ini maka Lio akan beralaskan ekstrakulikuler, tetapi tidak ada satu kebohongan yang berjalan lancar sebab orang tuanya selalu belum pulang. Namun, kali ini perasannya berbeda.

Lio memacu sepedanya, tak lama sampai di rumah putih gading. Ia melihat sebuah mobil hitam terparkir di garasi beserta sepeda motor hitam, firasatnya sungguh luar biasa benar kali ini. Lio masuk ke dalam rumah dengan perasaan campur aduk. Ia memasuki ruang keluarga kemudian menempukan tiga orang duduk berjajar dari kepala keluarga, ibu rumah tangga, dan abangnya. Tatapan ketiga orang itu tampak tajam menatap ke arahnya.

Save Me [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang