Janji, kalo kamu adalah yang pertama dan terakhir dalam kisah cintaku di masa putih abu-abu
-Lio Nyxbara-
***
Perkelahian antara Lio dan Gama membuat kedua wali kelas saling melempar permintaan maaf, kabar hangat dalam sekejap pun beredar mengenai keduanya. Wajah Gama dan Lio jadi terkenal dalam dua jam berikutnya sebab pertengkaran seperti itu cukup langka. Permata Bangsa menjunjung tinggi adab, sopan, santun, dan perilaku sehingga murid kelas sebelas dan dua belas enggan melakukan hal serupa sebab hukumannya bermacam-macam.
Lio dan Gama masuk ke ruang BK. Mereka tidak diceramahi seperti pada sekolah umumnya, di dalam ruangan dingin itu keberadaan keduanya diawasi guru. Gama diperintahkan meminta maaf secara benar, sayangnya remaja itu menolak. Lio pun tidak bisa berkata apa-apa sebab fakta yang didapatnya terlalu mengejutkan.
"Kalian mau terus-terusan di sini sampe pulang? Atau berniat nginep? Perlu saya bawakan kasur lipat atau guling?" tanya Bu Warda, guru BK.
Gama melirik. "Males banget saya minta maaf duluan ke anak ini. Udah pengecut, sok introvert pula. Emang Ibu nggak capek liatnya?"
"Gama, dengar. Selalu ada alasan dibalik perbuatan seseorang. Kamu enggak bisa menghakimi seseorang sebab ia menutup mulut. Tidak mudah mengungkapkan sesuatu yang dianggap penting, sulit untuk bisa terbuka meski pada teman dekatnya sekaligus. Mengerti?" Bu Warda menatap Lio yang menunduk.
Ekspresi Gama seolah tidak terima. "Iya, saya paham banget, Bu. Cuma saya nggak suka aja sama manusia yang sebenernya paham, tapi kayak orang bego. Kesannya, tuh, meremehkan orang lain!"
Bu Warda memijat keningnya, berbicara dengan remaja memang sulit sebab masa pertumbuhan yang termasuk mengontrol emosi belum stabil. Ia harus lebih bersabar menghadapi Gama dan adil pada Lio. Bu Warda meminta tolong pada rekannya untuk mengurus Gama, sementara ia berbicara empat mata dengan Lio. Ada hal yang ingin ditanyakan, ia merasa Lio menyembunyikan sesuatu.
Setelah Gama dan Lio dipisahkan dalam ruang yang berbeda, Bu Warda menyuruh Lio duduk berhadapan dengan meja sebagai penghalang.
"Jadi, apa masalah kamu? Saya enggak akan nanya hal aneh kalau mata saya tidak menangkap hal lain di diri kamu. Jawab, Lio." Bu Warda mendesak.
Lio menunduk. "Saya rasa Ibu lebih paham daripada diri saya sendiri."
"Saya ini termasuk lulusan psikolog, lho. Jangan meremehkan mata saya, Lio." Bu Warda merasa sesuatu di balik mata Lio. "Ibu enggak suka mendesak, tetapi kamu berusaha membuat saya mendesak, kan?"
Kepala Lio terangkat, di situlah Bu Warda melihat tatapan kosong muridnya. Padahal sebelum itu, binar mata Lio begitu terang, tetapi sekarang padam dan tak ada tanda kehidupan. Ia pernah melihat ini dan merasa Lio dalam bahaya jika tatapan kosong itu terus berlanjut.
"Gue benci kalo ada orang yang sadar, Cuma kehadiran gue emang bisa aja disadari sama orang tertentu. Misalnya, Bu Warda. Semoga Ibu enggak membocorkan sesuatu yang menjadi rahasia dari muridnya." Lio kembali menunduk.
Bu Warda menyadarinya, ia tidak bisa mendesak atau membuat muridnya terancam. Namun, ia berusaha agar Lio tidak membahayakan dirinya sendiri.
"Oke, kalo kamu paham maksud saya maka tidak ada hukuman berarti untuk kamu. Namun, saya sangat berharap bahwa pertengkaran seperti sebelumnya tidak terjadi lagi jika kamu sudah naik ke kelas sebelas atau dua belas sebab adik kelasmu kelak akan mencontoh kakak kelasnya. Kamu enggak mau perbuatan burukmu dicontoh, kan?"
Lio mengangguk singkat lantas pergi dari ruangan tersebut sebelum Bu Warda mengetahui banyak hal hanya sekali menatap matanya. "Oke. Gue harap Ibu juga jaga rahasia dengan baik."
Keluar dari ruang BK, Lio bersinggunggan dengan Gama. Keduanya diam saling berhadapan. Setelah sesi konsultasi dan ceramah, ada sedikit perubahan di raut wajah keduanya. Namun, belum satu pun kata terucap sebagai awalan.
"Lio."
"Gama."
Mereka berdua berucap berbarengan kemudian saling menatap.
"Gue duluan," kata Gama melirik. "Sorry, gue salah sebab menumpahkan semuanya tanpa pikir panjang. Gue Cuma mau lo sadar bahwa dunia enggak sekejam itu meski lo termasuk kaum introvert, banyak orang di sekitar lo yang peduli. Ditambah, hilangin sifat pengecut lo. Ameera masih hidup, kalo dia balik ... minimal lo harus ketemu sama dia."
Lio mengerti, ia salah dan patut disalahkan. Selama ini, Gama tidak benar-benar membencinya melainkan ingin menyadarkannya bahwa dunia tidak sesempit pikirannya. Lio merasa bersalah sekaligus bodoh. Apalagi telah mengabaikan Ameera yang masih hidup.
"Gue juga, maaf kalo sifat dan perilaku yang lo terima terkesan menjengkelkan. Cuma, gue melihat dunia memang sesempit itu, tapi sekarang lebih baik dibanding dulu. Gue harap, setelah ini ada perubahan dari diri gue yang nggak buat orang lain benci lagi. Makasih juga udah kasih tahu kebenaran soal Ameera, kalo aja lo enggak kasih tau gue ... mungkin selamanya gue menganggap dia mati." Lio menyesal.
Gama mengangguk lantas menepuk pundak sahabatnya. "Gue juga seneng, akhirnya lo punya temen di kelas tanpa perlu gue turun tangan."
"Yah, begitulah. Sekarang, kita temenan lagi, kan?" Lio bertanya ragu.
Gama terkekeh membuat Bu Warda berteriak nyaring sebab tawanya begitu keras terdengar di ruang BK yang sepi. Sebelum Bu Warda melempar penghapus, keduanya melarikan diri dari ruangan itu dengan senyum merekah.
Akhirnya, masalah sejak smp telah diselesaikan dengan jalan damai.
***
Setelah masalah selesai, Lio berniat mengunjungi Sun Coffe. Ia tidak ingin langsung pulang sebab mencari mood yang bagus untuk belajar nanti malam. Ujian tengah semester sebentar lagi, minimal Lio harus sering belajar agar tidak terkena remedial dan pindah ke kelas lain.
Namun, masalahnya ia tidak bisa belajar sendiri. Lio membutuhkan seseorang yang mampu memaksa dan membuat dirinya bekerja lebih keras. Ia bisa meminta Arnan mengajari, hanya saja temannya itu memiliki jadwal belajar tertata yang sulit diubah.
"Lia!"
Lio menghampiri gadis itu.
"Ya? Tumben kamu panggil aku?" tanya Lia heran.
Lio tersenyum tipis. "Gue butuh bantuan, bisa enggak lo ajarin gue materi buat ujian tengah semester nanti?"
Lia memperhatikan Lio, nada bicara dan kalimat yang digunakan cowok itu agak berbeda. Bahkan rambut serta pakaiannya pun acak-acakan, Lia menatap Lio penuh selidik. Sementara itu, Lio salah tingkah ditatap seperti itu.
"L-lo, apa, sih? Biasa aja liatin gue!" Lio menoleh ke arah lain.
Lia mengangguk. "Boleh aja, Lia akan mengajari Lio banyak materi dengan cara mudah. Cuma ..."
"Cuma?" Lio mengulang.
"Nilai Lio harus bagus, minimal bisa pindah kelas setelah ujian tengah semester."
Lio menyeringai. "Kalo misal gue bisa melakukannya, lo harus jadi pacar gue. Setuju?"
"B-boleh! Siapa takut!" Lia melangkah menjauh. "Lia atur jadwal belajar kita, jangan bolos atau kabur! Kalo enggak bisa pindah kelas ... hukuman menanti, lho!"
Lio tersenyum penuh kemenangan. Sebenarnya, ini cukup merugikan bagi gadis itu jika tidak ingin menjadi pacarnya. Lia bisa saja mencurangi Lio agar gadis itu menang dan tidak perlu terikat padanya, hanya saja Lio ingin sedikit memanfaatkan keadaan. Lia bukanlah gadis barbar yang menyebalkan, ia ingin mengetahui sedikit demi sedikit tentang gadis tersebut.
Ini namanya taruhan yang menguntungkan gue. Batin Lio.
***
Catatan: Terima kasih sudah berkunjung, mohon maaf apabila ada kekurangan dalam cerita.
***
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Save Me [TAMAT]
Teen Fiction"Selamatkanku!" *** Hidup dalam kegelapan, tidak ada yang menginginkannya. Begitu juga dengan Lio. Ia ingin hidup normal seperti orang-orang, bisa merasakan cinta, sedih, dan senang. Namun, Lio hanya mengenal kesendirian. Lio, remaja laki-laki yang...