Part 7

139 11 4
                                    

Melihat Hilda yang sudah sadar dan ingin bangun, Bimo segera menahan Hilda agar tetap berbaring.

"Jangan bangun dulu ya"

Karena merasa lemas dan tidak bertenaga, Hilda menurut saja Bimo kembali membaringkannya.

"Kenapa kita bisa di sini? Apa yang terjadi?"

"Tadi kamu pingsan, jadi aku bawa kamu kesini"

"Boleh minta tolong beri aku air mas, aku haus"

Bimo memberikan minum kepada Hilda
"Sekalian makan ya, aku suapin"

"Aku nggak nafsu makan, setiap ada makanan yang masuk selalu aku muntahin"

Bimo tersenyum mendengar perkataan Hilda, Lalu mengelus perut Hilda yang masih rata.
"Tapi kami harus tetap makan, biar dede bayi yang ada di dalam sini sehat"

Hilda membeku mendengar perkataan Bimo, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan terisak. Rasanya Hilda ingin mati saja, dia sangat lelah dengan semua ini.

Baru saja dia berdamai dengan apa yang telah terjadi padanya, kini Tuhan kembali memberikannya cobaan yang tidak bisa dia tanggung sendiri, apa sebenarnya dosa yang telah dia lakukan hingga Tuhan menghukumnya seperti ini.

Sedangkan Bimo yang kini tengah melihat Hilda menangis dan betapa rapuh serta berantakannya gadis cantik itu sekarang di landa rasa bersalah yang hebat, namun semua sudah terlanjur terjadi. Yang pasti saat ini yang bisa dia lakukan adalah bertanggung jawab kepada Hilda, apalagi sekarang Hilda sedang mengandung anaknya.

Bimo menarik tangan Hilda lalu mengusap air matanya. Setelah itu memeluk Hilda dan berusaha menenagkannya.
"Maafkan aku, jangan menangis kasian bayi yang kamu kandung, aku akan bertanggung jawab, aku akan menikahi kamu"

"Aku nggak mau di nikahi kamu, aku nggak mau di madu, aku nggak mau jadi perusak rumah tangga sahabat aku sendiri, kita semua akan sakit dan nggak akan ada yang bahagia"

"Lalu kamu mau bagaimana?"

"Aku nggak tau, aku nggak mau ini semua"

"Sstt,, jangan berkata begitu. Nanti anak kita dengar dan merasa tidak di inginkan kehadirannya, kasihan dia nggak tau apa-apa?"

Hilda semakin meraung mendengar Bimo mengatakan "anak kita". Saat ini Hilda sangat gusar dan tidak tau harus berbuat apa, di satu sisi dia tidak ingin menyakiti Ayuna dan Nadia, tapi dia juga tidak bisa menggugurkan bayi yang di kandungnya.

"Aku akan melahirkan dan membesarkan bayi ini sendiri"

"Jangan naif Hilda, kamu mau di caci dan di cemoh masyarakat sekitar karena hamil tanpa suami? Lalu jika anak itu lahir dia nanti membutuhkan identitas ayahnya agar bisa membuat akta kelahiran, kamu mau anak kamu nanti tidak memiliki identitas lalu di cemoh karena tidak memiliki ayah? Apa kamu bisa membesarkan seorang anak sendirian? Bagaimana kamu akan membiayainya? Kalau kamu kerja siapa yang akan merawat anak mu, ingat kamu udah nggak punya siapa-siapa, kamu sekarang sebatang kara hilda. Apa kamu mau anak kamu meresakan seperti yang sudah kamu alami? Kamu pasti tau bagaimana sulitnya hidup seorang diri, jadi biarkan aku bertanggung jawab untuk anakku, aku tidak ingin anakku kesulitan karena menanggung dosa yang telah ku perbuat"

"Lalu bagaimana dengan Ayuna dan Nadia mas?"

"Kamu tidak usah memikirkan mereka, kamu hanya harus memikirkan anak yang ada di dalam kandungan mu, masalah mereka biar itu menjadi urusan ku. Setelah kamu keluar dari sini, kita akan menemui Ayuna dan memberitahukan apa yang terjadi"

"Nggak mas, aku nggak bisa, aku takut Ayuna membenci ku"

"Tapi kita harus segera menikah, sebelum kandungan kamu membesar. Ayuna harus tahu dan memberi isin, agar kamu dan anak yang sedang kamu kandung bisa masuk ke kartu keluarga kami"

"Apa tidak bisa kita menikah tanpa diketahui Ayuna? Aku belum siap di benci oleh Ayuna?

"Cepat atau lambat Ayuna pasti akan tau, lebih baik dia mengetahui semua ini dari kita, akan lebih menyakitkan untuknya Jika dia mengetahui dari orang lain. Kamu harus ingat tidak ada kebohongan yang abadi di dunia ini.

"Iya mas aku tahu, tapi aku masih belum siap"

"Kalau kamu memang belum siap kita bisa menikah siri dulu sambil kamu mempersiapkan  mental untuk jujur ke Ayuna. Tapi harus sebelum anak kita lahir, karena pernikahan kita harus tercatat negara agar anak kita bisa mendapatkan hak seperti Nadia"

"Iya mas, begitu saja" Pasrah Hilda, mau tidak mau dia harus menikah dengan Bimo demi anaknya, betul kata Bimo dia tidak bisa membesarkan anaknya seorang diri.

Dia tidak ingin anaknya menanggung kesulitan karena dosa dari orang tuanya, anaknya tidak bersalah dia tidak tahu apa-apa, Hilda tidak ingin anaknya merasakan sulitnya hidup sebatang kara seperti dia saat ini.

"Maafkan aku Ayuna, aku harus melakukan ini, demi anak ku" Monolog Hilda dalam hati

"Terimakasih Hilda, telah membiarkan aku bertanggung jawab untuk anak ku. Sekarang kamu nggak usah pikirkan apapun cukup fokus pada kehamilan mu biar aku yang urus semuanya, kata dokter kehamilan mu sudah berusia dua bulan dan kamu harus banyak makan dan tidak boleh stres, karena akan berakibat pada perkembangan janin dalam perut kamu"

Bimo mengelus perut Hilda lalu menciumi kening hilda dan terakhir turun menciumi perut Hilda yang masih rata

"Sehat-sehat ya disana anak ayah"

Hidla tertegun melihat pemandang itu, seandainya saja Bimo belum memiliki istri dan bukan suami Ayuna. Dia pasti merasa sangat bahagia saat ini, karena sesungguhnya Hilda sangat ingin menikah dan memiliki anak.

Karena Hilda hidup sebatang kara, dia mempunyai cita-cita agar bisa memiliki kelurga bahagianya sendiri, kini Tuhan telah mewujudkan impiannya yaitu memiliki kelurga, namun jauh dari kata bahagia dan bukan miliknya sendiri dia harus berbagi, bukan dengan orang lain tapi dengan Ayuna sahabatnya sendiri.

Sebercanda itu jalan hidup Hilda di dunia ini, terkadang rasa iri muncul di hati Hilda melihat kehidupan Ayuna dan orang-orang yang Hidupnya sempurna, tanpa perlu bersusah payah seperti dirinya, mereka bisa langsung mendapatkan apa pun yang mereka inginkan.

meskipun begitu tidak pernah terbersit sedikitpun di hati Hilda untuk merebut apa yang mereka miliki, dia turut berbahagia melihat melihat mereka bahagia.

Dia juga tidak pernah meminta yang muluk-muluk pada Tuhan, dia hanya ingin memiliki kelurga bahagianya sendiri tanpa harus merusak kebahagian orang lain.

Terkadang Hilda berpikir mengapa Tuhan tidak adil kepadanya? Dosa fatal apakah yang pernah dia perbuat sehingga tuhan terus menerus memberikan ia cobaan? Apakah suatu saat dia juga bisa merasakan bahagia? Apakah dia bisa bahagia sebelum dia mati?

Saat ini Hilda merasa sangat lelah, dia merasa babak belur luar dalam, dia sudah menyerah, bagaimanapun dirinya berusaha pada akhirnya semua akan sia-sia.

untuk saat ini dia hanya akan mengikuti alur yang telah Tuhan buat untuknya, namun dia tidak akan pernah berhenti memanjatkan doa kepada Tuhan agar Ayuna bisa memaafkannya dan anaknya kelak bisa merasakan bahagia serta jangan pernah merasakan apa yang terjadi padanya.

Jika rasa sakit yang selama ini ia dapatkan adalah jalan agar anaknya kelak bisa hidup bahagia, maka Hilda ikhlas menerima semuanya.

KARINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang