2. Bagaimana bisa?

458 49 20
                                    

Kota yang besar menampilkan gedung-gedung tinggi yang salah satunya akan menjadi milik Taufan nantinya.

Taufan melihat kearah jendela, Gempa baru saja pulang dan dirinya merasa sepi dalam ruangan yang cukup besar ini. Taufan berjalan ke arah jendela, malam ini membuat Taufan sedikit merinding, entah apa sebabnya.

Kopi yang sudah di bawa Gempa masih belum diminum oleh Taufan.

"Beban seperti ini akan lebih berat kutanggung di masa depan. Aku harus lebih biasa dengan ini semua." Taufan melipat kedua tangannya.

Cukup lama Taufan memandangi gedung-gedung yang kemudian kembali ke tempat duduknya.

"Aku harus menyelesaikan ini lalu istirahat," guman Taufan pada dirinya sendiri.

Dengan tenangnya Taufan membolak-balikkan dokumen, memastikan tak ada yang salah. Tiba-tiba saja ponselnya berdering.

"Ayah?! Tidak biasanya dia menelfon ku," ucap Taufan.

Taufan mengangkat telfon dari ayahnya. "Ayah?"

"Taufan! Kau ada dimana?"

"Aku sedang menyelesaikan pekerjaan di perusahaan, Ayah. Apa ayah ingin sesuatu?" tanya Taufan.

"Besok Ayah akan pulang. Kau jemputlah ayah di bandara, Taufan. Hanya kau, bukan yang lain."

"Kenapa?"

"Ada hal yang ingin Ayah sampaikan padamu."

Taufan sedikit penasaran akan hal apa yang akan Ayahnya sampaikan sampai seserius ini.

"Tentu, Ayah."

Taufan mematikan ponselnya lalu mengusap wajahnya kasar. Sepertinya benar, jika ada masalah dengan perusahaan yang lain. Ayahnya benar-benar terlalu santai.

"Haish~" Taufan kembali mengurus dokumen-dokumen, dirinya harus menyelesaikan tepat malam ini.

Sedangkan disisi Ayah Taufan. Sebuah rumah besar dengan banyak barang dimana-mana. Bisa dilihat brand dari barang-barang itu yang akan membuat siapapun terkejut.

"Paman, anda tidak perlu membelikan ini semua pada kami," ujar si manik merah darah merasa tak enak.

"Ada apa Hali? Ini bukan hal yang besar, jadi tak masalah," balas Amato.

Halilintar menunduk tak enak, dirinya dan adik-adiknya sudah menyusahkan orang di depannya ini.

"Lima...enam. Ada enam nol di baju ini, sepertinya sangat mahal, benarkan Kak Ice?" ujar seorang anak bermata bulat besar.

Remaja yang dipanggil Ice itu hanya mengangguk. "Ini terlalu mahal, paman."

Amato tertawa, "Memang kenapa? Bukankah sudah biasa orang tua memberikan yang terbaik untuk anaknya." Amato berbicara tanpa beban.

Halilintar kembali menunduk, ada rasa ragu di hatinya. Belum ada sebulan dirinya dan adik-adiknya diangkat anak oleh seorang miliarder yang tak sengaja di temuinya di cafe, tiba-tiba saja dirinya sudah menjadi anak dari miliarder itu sendiri.

Namun, ada hal yang Halilintar khawatirkan sekarang.

Apa anak-anak kandung dari orang tua angkat mereka itu akan menerima dirinya dan adik-adiknya sebagai saudara?

Apalagi saat tau jika usia mereka tidak begitu jauh.

Halilintar mengulum bibir bawahnya ragu, "Paman..." Amato menoleh ke arah Halilintar.

"Apa Paman yakin anak-anak anda bisa menerima kami semua?" Halilintar berujar tak berani menatap Amato. Memang terdengar sedikit tak sopan. Namun, Halilintar ingin memastikan.

Mawar dibelakang MansionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang