Sejak lahir, Jan Lakis tidak memiliki kehidupannya sendiri. Segalanya telah dirancang dan ditentukan sesuai dengan aturan yang dilandaskan tradisi turun-temurun sebagai insan yang lahir di keluarga Saudjaja.
Tak terkecuali tentang pilihan pasangan hidup.
"Kamu akan bertemu dengan calon istrimu akhir pekan ini," ujar pria tua dengan beberapa helai rambut yang mulai memutih.
Di hadapan pria tua itu, Jan Lakis duduk dengan raut datar. Monoton dan tenang seperti danau tanpa riak yang kegelapan airnya menandakan kedalaman yang tidak pernah bisa terukur. Tidak tertebak, sekaligus mengindikasikan sesuatu yang misterius dan menyeramkan.
Itu menjadi sesuatu yang patut disyukuri Jan Lakis akan kemahirannya dalam melakukan sandiwara dengan jam terbang panjang sebagai aktor ibu kota. Benar-benar menguntungkan ketika ia sedang berhadapan dengan cucu tertua Saudjaja ini.
Sebagai generasi keempat, cicit dari Saudjaja, keluarga konglomerat developer properti di negeri ini, Jan Lakis paham dengan sempurna bahwa sejak lahir ia tidak bisa-tepatnya tidak diperbolehkan-mengatur hidupnya sendiri. Semuanya sudah direncanakan dengan apik, bahkan mungkin sebelum ia dibuat.
Dan memang benar bahwa perjodohan adalah sebuah tradisi pasti di keluarga Saudjaja. Lelaki itu tahu hal tersebut juga akan menimpanya kelak. Dan hari itu akhirnya datang; kabar mengenai perjodohannya.
"Saya menolak perjodohan ini, Papa."
Yan Jati Saudjaja, papa dari Jan lakis, generasi ketiga yang mewarisi sebagian besar warisan Saudjaja itu hanya tersenyum. Namun, siapa pun akan paham bila senyuman itu bukanlah hal baik. Bagaikan seorang raja menatap remeh budak yang mencoba meminta izin melakukan kudeta. Terlalu mustahil permintaan Jan Lakis dikabulkan. Terdengar konyol dan kekanakan. Ini hiburan bagi Yan Jati.
"Kamu tahu kamu tidak bisa menolaknya, Jan Lakis," balas Yan Jati seraya terkekeh. Lantas, pria tua itu mengerling dengan senyuman tenang yang sama saja membuat Jan Lakis merasa terinjak-injak.
"Selama tiga puluh tahun saya hidup, tidak ada satu hal pun yang saya tolak—"
"Kamu lupa bahwa kamu baru saja menolak perjodohan ini?"
Jan Lakis menahan emosinya. Dia memperkokoh raut wajahnya untuk tidak menunjukkan mimik apa pun agar pria tua di hadapannya ini tidak menemukan celah dirinya. Lelaki itu tetap monoton, berusaha setenang mungkin untuk membalas perkataan sang papa.
"Ya. Dan perjodohan ini akan menjadi penolakan saya yang pertama kalinya, Papa."
"Lalu, menurutmu dengan pertama kalinya ini, aku akan mengabulkannya, begitu?" Yan Jati merasa terhibur sekali dengan penolakan sang putra yang dianggapnya sebagai lelucon.
"Pa—"
"Jan Lakis, dengar." Suasana di antara mereka meningkat. Yan Jati menatap putranya dengan serius, tajam dan tak terbantahkan. Suara detik jarum jam bahkan terdengar jelas selama pria tua itu menjeda ucapannya.
"Kamu tahu betul bagaimana Papa bisa mencapai semua ini selama bertahun-tahun. Tidak mudah untuk bertahan di dunia ini, Nak. Kamu perlu mempererat koneksi untuk tetap memiliki apa yang sudah kita miliki."
Pria itu terdiam lagi, memperhatikan raut wajah putranya. Dia mengharapkan adanya perubahan di wajah Jan Lakis agar dirinya tahu strategi apa yang akan diambilnya setelah ini. Namun seribu sayang, dia tidak menemukan arti apa pun. Pria tua itu menghela napasnya.
Jan Lakis tetap kukuh memertahankan monoton raut wajahnya hingga sangat sulit terbaca.
Sedikit sesal memperbolehkan Jan Lakis berkecimpung di dunia sandiwara mulai merambati kekesalan hati Yan Jati.
KAMU SEDANG MEMBACA
CALL ME YOUR WIFE, LAKIS! ✔️
RomanceKehidupan pernikahan persis seperti yang dibayangkan oleh Jan Lakis; sulit, pahit dan menyakitkan. Dengan penggambaran yang melekat seperti itu di kepalanya membuat Lakis sukar menerima perjodohan yang ia jalani. Pria itu begitu skeptis dan dingin t...