CALL-11 | WHAT ARE WE FIGHTING FOR?

7.6K 790 131
                                    

 "Aku enggak tahu kalau Mas Lakis pulang ... sama Asta?"

Samira terkejut melihat sosok suami yang hampir sebulan ini tidak pernah terlihat dan ditemuinya. Ucapan wanita itu juga sempat terjeda karena melihat manager Jan Lakis mengantar pria itu sampai ke depan pintu kondominium mereka. Biasanya, meski Asta mengantar Jan Lakis, dia tidak pernah mengantar suaminya itu sampai ke depan pintu. Lelaki itu hanya akan mengantar sampai di lantai basement atau pintu masuk utama. Sehingga, itu menjadi pertanyaan Samira Noa.

Meski begitu, keheranan Samira tidak ia tunjukkan lewat ekspresi apalagi pertanyaan. Dia tahu bila mereka tidak 'sedekat itu' dan Samira juga takut bila Jan Lakis akan memperingatinya untuk tidak ikut campur di hadapan Asta. Jadi, yang dilakukan oleh Samira hanyalah diam tanpa banyak bertanya, lantas dia memiringkan tubuh seraya membuka pintu kondominium lebih lebar.

Manager Jan Lakis itu menyapa Samira dengan cengiran konyol hingga gigi dan gusinya terlihat. Matanya menyipit membuat lelaki itu tampak sangat ekspresif di antara dua orang berwajah kaku di sana.

"Hallo, Mbak!"

Samira mengangguk. Dia terbiasa menghadapi orang-orang penuh ekspresi seperti Asta, tetapi tetap tidak membuatnya lantas menjadi wanita yang penuh ekspresi juga. Wanita itu kemudian tersenyum tipis membalasnya.

Samira masih berpakaian rapi semi-formal. Dia memakai Saint Laurent blus merah satin dan celana bahan hitam yang membuat kedua kakinya semakin jenjang. Pakaian itu membuatnya tampak seperti baru saja datang pulang dari kerja. Namun, mengingat situasi saat ini, hal itu tidak mungkin dilakukan oleh Samira. Wanita itu pasti tidak bisa ke kantor seharian ini. Sehingga ketika melihat kerutan di kening samar di dahi suaminya, wanita itu menjelaskan.

"Aku habis ada meeting dengan client dan kepala designer Alloorè untuk projek fashion week nanti," jelas wanita itu dengan sengaja cukup detail. Sedikit harapan bisa membuat Jan Lakis bertanya lebih lanjut. Tapi, pria itu hanya berdeham tak acuh kemudian melengos masuk begitu saja. Yang menanggapi malah Asta, bukan Jan Lakis.

"Malam-malam begini, Mbak?"

"Iya. Pemberitaan hari ini cukup melelahkan. Jadi ada beberapa hal yang perlu ditunda dan terkendala," balas Samira seramah mungkin.

Ini di hadapan orang lain, Samira ingat bila selain harus bersikap sebagaimana 'seharusnya' menjadi istri dari sosok Jan Lakis Saudjaja, dia juga harus memerankan sosok yang hangat dan ramah. Itu yang tertera di dalam kontrak. Padahal, tanpa perlu ditulis di dalam kontrak, Samira akan berusaha menjadi sosok itu; sosok yang tampak pantas dan baik sebagai istri sah Jan Lakis.

Kedua mata Samira mengikuti tiap langkah suaminya. Dia memperhatikan bagaimana punggung tegap itu terlihat begitu lelah dengan kemejanya yang telah sangat kusut.

Wajar. Hari ini memang tidak mungkin bila semua orang yang berkaitan dengan dirinya dan Jan Lakis tidak merasakan kelelahan, terutama mereka berdua. Samira menatap pria itu sedikit cemas dan menghela napasnya lelah. Dia lantas kembali menatap Asta yang terlihat buru-buru hendak berpamitan.

Samira menahan Asta untuk tidak segera pergi. Dia merasa perlu tahu, meski jika Jan Lakis mendengarnya pria itu akan menganggapnya terlalu banyak ikut campur urusannya.

"Apa ada hal lain yang terjadi di kantor hari ini, Asta?" tanya Samira.

Asta tampak ragu dan bingung apa saja yang perlu ia katakan hingga wanita itu berujar, "Bilang aja semuanya kalau kamu bingung, Asta."

"Justru karena semuanya membingungkan, Mbak," kelakar Asta. Dia juga tampak lega dan ada sedikit iba setelah melihat perlakuan atasannya kepada wanita sebaik di hadapannya saat ini.

CALL ME YOUR WIFE, LAKIS! ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang