CALL - 17 | SAPI PERAH

5.4K 647 84
                                    

Apakah ketika pria itu meminta kerja sama dengannya untuk menolak gagasan perjodohan mereka, lalu Samira menolaknya dengan mentah, Jan Lakis juga mendapatkan pukulan seperti ini?

Membayangkan bagaimana pria itu mendapatkan lebih dari ini membuat air mata Samira meluruh saat itu juga.

Namun, melihat bagaimana suaminya berusaha tampak baik-baik saja, membuat Samira berpikir bahwa dia tidak boleh menangis seperti ini. Maka dari itu, wanita tersebut langsung menghapus air matanya dengan kasar, kemudian Samira berhadapan langsung dengan Yan Jati. Dengan berani, dia menaikkan dagu, menatap tajam dan penuh amarah para mertuanya. Sementara itu, kedua tangannya terkepal kuat, menahan diri untuk tidak menampar—atau meninju balik—mertuanya sendiri. Padahal tubuhnya jauh lebih kecil dibandingkan pria tua itu.

"Papa! Apa-apaan Anda?!" bentak Samira, dia melotot menatap berang pada mertuanya. Persetan dengan kesopanan—atau apa pun masalah yang akan dia hadapi setelah ini—Samira Noa tidak akan peduli. Yan Jati jelas sudah sangat kelewatan.

Sementara itu, Jan Lakis terperangah. Dia terpegun lama menatap Samira dengan sorot tidak menyangka bahwa wanita itu akan seberani ini. Tak pernah juga selama ini ada seseorang yang berani memasang badan dan melawan seorang Yan Jati hanya untuk membelanya, bahkan ibunya sendiri pun tidak pernah.

Jan Lakis baru tersadar ketika ia melihat raut sang papa kian menggelap. Pria itu memegang ujung bibirnya, melepehkan salivanya yang bercampur rasa karat akan darah, kemudian buru-buru pria itu langsung memegang kedua bahu Samira, membuatnya saling berhadapan. Dia agak menunduk, agar bisa mensejajarkan wajahnya dengan Samira.

"Saya baik-baik saja, Samira. Jangan gegabah, jangan gegabah," kata Jan Lakis berulang dengan suara setengah berbisik.

Jelas sekali ucapan pertama Jan Lakis adalah kebohongan. Yang keduanya barulah sebuah kebenaran.

Meskipun terkesima akan keberanian Samira Noa berhadapan dengan Yan Jati, itu tetaplah bukan sikap yang harus dilakukan wanita itu sekarang. Terlalu gegabah. Jan Lakis tidak ingin wanita itu terkena imbasnya di kemudian hari.

Namun, Samira terlanjur melepas emosi yang tidak bisa lagi dikendalikannya. Napas wanita itu tampak memburu, takut dan terkejut sekaligus ketika Jan Lakis berkali-kali berusaha menenangkannya. Di sisi lain, sesungguhnya Jan Lakis masih tidak percaya—lebih tepatnya tidak mengerti—mengapa Samira sampai berani nekat sejauh ini.

Samira baru menyadari bahwa dirinya baru saja mengomeli Yan Jati dengan seberani itu ketika Yan Jati—seperti orang gila—malah mentertawainya. Rasa takut yang semula mendominasi kembali muncul menenggelamkan keberaniannya secepat kilat. Tetapi tentu saja Samira berusaha tidak menunjukkan ketakutannya.

"Sudah, Samira ... saya enggak apa-apa," Jan Lakis masih berusaha menenangkan Samira. Suara husky-nya terdengar lebih lembut dari biasanya. Namun, tak lantas itu membuat istrinya benar-benar tenang.

Lihat saja, wanita itu—entah keberanian dari setan mana lagi—tampak kembali menoleh dan mendelik galak penuh amarah pada Yan Jati yang menunjukkan raut sebaliknya.

Pria tua itu tidak terlihat bersalah sama sekali—seolah perilakunya memang suatu hal yang perlu dilakukan dan terbiasa dilampiaskan dengan cara yang seperti itu. Kemudian, Samira kembali menatap ke arah suaminya. Kedua mata jelitanya bergerak sedikit gemetar karena gentar menatap bagaimana wajah Jan Lakis sekarang. Dengan sulit, Samira menelan salivanya sendiri. Sebelah tangannya yang sudah terangkat hampir menyentuh ujung bibir Jan Lakis tertahan di udara.

"Kita pergi dari sini," cetus wanita itu seraya menarik lengan Jan Lakis untuk segera pergi dari hadapan mertuanya.

Sayangnya, Jan Lakis menahannya. Dia perlahan melepaskan tangan Samira yang menarik lengannya tanpa menoleh sedikitpun—karena kini kedua matanya kembali menatap sang papa dengan tajam.

CALL ME YOUR WIFE, LAKIS! ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang