CALL - 16 | MENGHADAPI KEMURKAAN YAN JATI

5.6K 822 111
                                    

Memasuki rumah besar pemilik tahta tertinggi Saudjaja Group membuat Samira Noa mendadak merasa menggigil.

Ini jauh lebih menakutkan dibanding situasi di mana dirinya harus menghadapi puluhan reporter, kilatan blitz membutakan mata atau pun lontaran pertanyaan-pertanyaan pedas yang saling tumpang-tindih seperti dengung ribuan lebah. Semua itu ternyata jauh lebih baik daripada harus memasuki rumah Saudjaja.

Sepanjang berjalan memasuki rumah bergaya Eropa klasik yang begitu megah ini, black pump yang dipakai Samira mendadak terasa begitu menyakitkan. Rasanya berat dan perih sekali untuk mengayunkan tiap langkah kaki. Padahal, sehari-hari Samira sudah terbiasa dengan sepatu berhak tinggi seperti itu. Jadi, seharusnya Samira tidak lagi merasakan nyeri seperti pertama kalinya bukan?

Namun, sungguh, kali ini rasanya berbeda. Samira ingin segera melepas sepatu heels-nya, lalu kabur sejauh mungkin. Dia tidak ingin berhadapan dengan Saudjaja manapun, terutama Yan Jati—pria paruh baya yang sudah dapat dipastikan takkan suka melihat kehadirannya setelah apa yang diperbuat anak sulungnya hari ini.

Sayangnya, Samira tidak bisa melakukan itu, bukan? Dia tetap harus masuk dan berhadapan dengan Yan Jati Saudjaja untuk menemani suaminya.

Pertemuan terakhir Samira dengan Yan Jati bukanlah pertemuan yang dapat dikatakan baik. Terakhir kali wanita itu berhadapan dengannya, Yan Jati seperti kehilangan akal. Pria itu melemparkan permintaan—yang lebih tepatnya seperti perintah—tak masuk akal hingga membuat Samira Noa tidak percaya dengan pola pikir pria tua itu.

Sampai detik ini, Samira masih belum memberikan jawaban apa pun atas permintaan Yan Jati beberapa waktu lalu. Entahlah, tetapi yang jelas, pernyataan apa pun yang akan keluar dari mulut Samira nanti akan ditentukan oleh seberapa lelahnya ia berjuang hingga putus asa.

Jan Lakis kemudian semakin membawamya masuk ke dalam rumah besar. Sehingga, keinginan untuk kabur dari kediaman Yan Jati kini hanyalah angan belaka saja. Kedua kaki Samira sekarang telah melangkah lebih jauh untuk masuk ke dalam rumah megah itu.

Degup jantung Samira mulai terasa bekerja lebih ekstra dari sebelumnya. Kedua tangan yang terpaut saling memilin—menandakan bahwa Samira mulai merasa gugup dan tertekan. Itu membuat raut wajah Samira mendadak pucat pias dengan kesan yang kembali dingin dan muram di saat yang bersamaan.

Saat kedua bilah pintu besar di hadapannya terbuka secara otomatis—Samira spontan menyempitkan paru-parunya—menahan napas sejenak. Dua pelayan kemudian tampak bergegas berdiri di sisi kanan-kiri menyambut kedatangan Samira Noa dan Jan Lakis seraya menunduk kecil dengan gerakan formal.

Di atas pintu itu, terdapat kaca besar yang hampir setinggi pintu tersebut hingga mencapai atap—membuat cahaya mentari masuk dan langsung jatuh ke lantai marmer. Dalam langkah kaki kelima, Samira melihat dua buah tangga yang cukup tinggi melingkar dan saling bertemu di lantai kedua. Setiap anak tangga itu dilapisi oleh karpet merah marun yang Samira yakini tidak berharga murah.

Seolah tak puas dengan kemegahan, rumah besar itu memiliki jarak antar lantai yang cukup tinggi, sehingga sirkulasi udara di dalam ruangan terjaga dengan baik. Samira yakin, lantai marmer—yang menambah kesan mewah dan mahal ini juga yang menjadi alasan bahwa rumah Saudjaja terasa lebih adem meski tidak ada satu pun pendingin ruangan.

Sebenarnya, Samira tidak terlalu merasa kaget dengan semua pemandangan ini. Selain karena rumah dengan jenis seperti ini sudah beberapa kali ia kunjungi, dia juga sudah menduga kediaman Saudjaja—konglomerat properti itu—akan seperti ini. Kuat dengan kesan artistik yang seimbang dengan guna fungsional, interior dan eksterior yang apik, hingga kesan kemewahan yang begitu kental.

Meski begitu, rumah keluarga ini tidak terasa 'hangat dan nyaman' sebagaimana mestinya. Sebab, alih-alih seperti itu, rumah besar Saudjaja ini tampak seperti tidak ditinggali oleh pemiliknya. Terlalu sunyi, sepi dan kosong meskipun terdapat beberapa pelayan yang terlihat hilir-mudik—mereka tetap tidak menghidupkan suasana.

CALL ME YOUR WIFE, LAKIS! ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang