CALL - 36 | THIS IS ME TRYING

3.1K 406 109
                                    

Halo, jangan lupa nanti baca author notes di bawah ya!!

.

.


Pemberitaan itu bagaikan sambaran petir di siang bolong yang menggelegar. Telah terlanjur tersambar, Samira bahkan hingga kini bahkan masih terdiam membisu.

Kedua mata wanita itu menerawang lurus ke arah depan. Hatinya menahan sesak menyakitkan. Punggungnya yang rapuh bersandar pada sudut tembok yang dingin. Pandangannya tampak kosong, barulah beberapa saat kemudian air mata mulai jatuh meluruh membasahi kedua pipinya yang pucat. Sesekali ia menghapusnya, pelan, tetapi rutin dilakukan sebab air matanya tampak masih deras dan belum ingin berhenti keluar.

Apakah ini bentuk balas dendam Jan Lakis sebab Samira selama ini telah bungkam terhadap permasalahan persetujuan dengan Yan Jati?

Atau, apakah kebenaran rumor ini justru telah berlangsung lama sebelum permasalahan itu ada?

Rumor ini kah alasan sebenarnya mengapa Jan Lakis kala itu tidak pernah berkomunikasi dengannya? Sehingga, tidak heran bila selama di Lombok, itu menjadi kesempatan Jan Lakis untuk 'bermain lebih' luas di belakangnya?

Sebelum pertanyaan-pertanyaan itu muncul, Samira sudah hampir putus asa mencari dan menghubungi keberadaan suaminya sejak pria itu meninggalkan kondominium terthitung empat hari lalu setelah pertengkaran mereka. Selama itu pula, Samira tidak berani keluar kondominium karena takut suaminya pulang saat ia tidak ada.

Tidurnya sama sekali tidak teratur-atau bahkan kalau Samira ingat, dirinya tidak tertidur sama sekali? Kapan terakhir kali Samira makan sampai-sampai tulang pipinya semakin kelihatan jelas. Bahkan kantung mata yang biasanya dirawat, kini terlihat sangat menghintam dengan sorot mata kuyu dan sendu.

Jan Lakis telah mempengaruhinya sebegitu dalam. Dan ketika berita ini tersebar, bahkan Samira sudah tidak mampu mendeskripsikan hatinya seperti apa lagi.

Meski begitu, Samira tidak ingin bersumbu pendek dengan membuat kesimpulan sendiri tanpa mencari tahu atau mendengarkan faktanya yang ia harap dengar sendiri dari mulut Jan Lakis. Namun, hingga kini pria itu masih menghilang seolah apa yang tersebar tidak perlu ia berikan penjelasan pada siapa pun, termasuk istrinya sendiri. Perasaan Samira seolah tidak penting bagi pria itu. Dan ini rasanya sangat sakit seperti diremas oleh ribuan tangan hingga menyesakkan. Sangat berbanding terbalik ketika sebelumnya ribuan tangan di hatinya itu jutsru membuatnya merasa tergelitik penuh asmara yang bermekaran.

Samira tahu dalam menghadapi terpaan badai baru—ketika badai sebelumnya belum diredakan—adalah dengan tetap berpikir dengan kepala dingin. Wanita itu juga tahu bahwa media itu jahat. Namun, potret samar yang tersebar di media mengenai kabar 'cinta lama belum berakhir' itu benar-benar mirip dengan postur tubuh suaminya dari belakang. Sekali lagi air mata itu turun lebih banyak setelah memikirkannya.

Alasan apa pun dibaliknya, tetap saja menyakitkan hati Samira.

Papa is calling ... ketika Samira mendapati ponselnya berdering. Melihat nama yang terpampang di layar-nya, Samira merasa tidak mampu untuk mengangkatnya. Dia sesenggukan menghapus air matanya. Tangannya terangkat, tetapi tetap tak sanggup mengangkat panggilan tersebut. Oleh karena itu, ia biarkan ponsel itu berdering hingga kemudian diakhiri dengan denting suara pesan masuk.

Papa
Datang ke rumah sekarang.

Samira bimbang. Haruskah dia benar-benar pulang? Jika memang harus seperti itu, apa yang akan Papa bahas? Mengenai rumor yang beredar? Sungguh, Samira bahkan tidak mampu untuk membahas hal itu sekarang. Dia tidak akan sanggup untuk membicarakannya ketika pada ujungnya kemungkinan besar buah hasil pembicaraan itu hanya akan semakin membuat pikirannya membuat kesimpulan sendiri ketika ia belum tahu faktanya seperti apa.

CALL ME YOUR WIFE, LAKIS! ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang