Happy Reading!!!.
Sore itu setelah dari pemakaman bunda, mereka kembali berjalan kaki menuju rumah. Di tengah-tengah perjalanan Dipta melihat ada yang salah dengan Biru, mulai dari gerak-geriknya, jari-jarinya yang saling bertautan seperti orang yang begitu gugup, bahkan wajah Biru yang kini nampak lebih pucat. Lantas Dipta bertanya walau sudah tau bahwa penyakit adiknya itu sedang kambuh.“Kambuh lagi?” Biru hanya mengangguk.
“Tapi kalau mas lihat, sepertinya ada hal lain yang kamu sembunyikan.” Sambung Dipta.
Lantas dengan cepat Biru menggeleng, meyakinkan kalau tidak ada apa-apa. Tapi ini Dipta, seseorang yang paling dekat dengan Biru, seseorang yang selalu ada di samping Biru, melindungi Biru, menjaga Biru. Sebenarnya tak enak hati jika Biru berbohong, tapi dia juga merasa tak enak jika jujur. Sungguh ini terlalu berat untuk di katakan. Biru merasa dia sudah terlalu membebani Dipta selama ini.
Tak sampai di situ, Dipta terus mendesak Biru agar bicara yang sebenarnya. Sebab Dipta tahu betul Biru sedang menyembunyikan sesuatu saat ini. Tapi di sisi lain Biru hanya diam dan berpikir apa sebaiknya putus sekolah saja ya?. Jangankan uang untuk bayar sekolah, uang untuk bensin saja Dipta tidak ada.
“Mas” panggilnya, membuat Dipta menoleh.
“Tiba-tiba Biru berpikir buat putus sekolah.”
Lantas Dipta menghentikan langkahnya yang otomatis membuat langkah Biru ikut terhenti. Kemudian Dipta pegang ke dua pundak Biru, di sertai seulas senyum di bibir manis Dipta. Seraya menyalurkan energi.
“Sudah di tagih uang SPP ya? Kenapa gak bilang dari awal?.”
“Kamu gak boleh putus sekolah, kalau perlu kamu harus kuliah.”
“Tapi mas, Biru sudah sangat membebani mas selama ini. Biru bukan adek mas, biru sungkan jika terus bergantung sama mas.”
“Jangan ngomong gitu, mas sama sekali gak merasa ter bebani. Terus kenapa kalau kamu bukan adek kandung mas? Mas sayang sama kamu, jangan putus sekolah ya? Mas bakal cari uangnya, itu sudah jadi tugas mas. Tugas kamu cuma sekolah, jangan pikirkan hal lain.”
Setelah itu mereka kembali berjalan, karena di rasa lembayung senja telah tergantikan oleh gelapnya malam, di barengi oleh azan Maghrib yang sudah berkumandang beberapa menit yang lalu. Kedua pemuda itu segera ke masjid untuk menunaikan ibadah shalat. Dua puluh menit berlalu, mereka kembali melangkahkan kaki untuk segera sampai di rumah.
Biru yang saat itu sibuk membersihkan diri di kamar mandi, sedangkan Dipta yang sibuk berpikir akan masak apa malam ini. Pasalnya di kulkas tidak ada apapun yang bisa di makan, Dipta lupa harus belanja bulanan. Setelahnya Biru keluar dari kamar mandi, dengan masih berbalut handuk dan telanjang dada, Biru lantas mendekat ke arah Dipta yang sedang termenung di wastafel.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU TIDAK KUAT, AYAH - NA JAEMIN [On Hold]
Random"Sudah Temaram. Kini di tulis sebuah Narasi tak beraturan oleh Biru. Kepada Ayah, Bunda dan mas Dipta." Bunda yang sudah lebih dulu mendahului kita, Ayah yang menjelaskan rasa kasih sayangnya lewat pukulan, dan mas Dipta yang selalu di sini menemani...