13. Perbincangan Malam Hari

36 11 0
                                    

"Aku akan pulang denganmu," ucap SandyKala.

Jevika hanya diam, melanjutkan langkahnya. SandyKala pun mengikuti di belakangnya. Jarak antara pantai dan pondok kayu sekitar 50 langkah.

Angin sepoi-sepoi berdesir di sekeliling mereka, membawa aroma laut yang segar. Mereka berjalan dengan hati-hati melalui pasir pantai yang lembut, dan suara ombak yang berirama menemani langkah mereka.

Kemudian, tiba-tiba, terdengar suara ngauman yang samar-samar menghampiri dari dalam hutan. Jevika, yang berjalan di depan, tiba-tiba berhenti sejenak dan menatap hutan dengan pandangan waspada. Dia berkata, "Apa kau mendengarnya?"

SandyKala, yang berada di belakangnya, mengangguk seraya menjawab, "Iyah, aku mendengarnya."

"Ayo, lanjutkan langkahmu, kita harus segera kembali ke pondok itu, sebelum terjadi hal yang tidak diinginkan," lanjutnya.

Mereka pun melanjutkan langkah mereka. Namun, tak lama kemudian, suara auman terdengar lagi dengan sangat jelas menggema melalui pepohonan hutan. Suasana mencekam pun mengelilingi mereka, membuat keduanya semakin waspada. Kemudian mereka mempercepat langkah mereka.

Kemudian mereka akhirnya tiba di depan pintu pondok. Namun, saat mereka mencapainya, terlihat api yang telah mereka nyalakan sudah hampir padam.

"Kau masuklah duluan, Jevika. Aku akan menangani api ini," ujar SandyKala.

"Aku akan menolongmu," kata Jevika.

"Tidak, aku bisa melakukannya," tolak SandyKala.

"Masuklah," lanjutnya tak tega melihat Jevika yang nampak kedinginan.

Jevika pun mengangguk sebab SandyKala berbicara sangat tegas.

SandyKala bergegas mengambil potongan kayu kering dan daun kering yang telah ia kumpulkan sebelumnya, berusaha mempertahankan kehidupan dalam api. Desiran angin malam yang sejuk terasa di pipinya saat dia berusaha keras menjaga api tetap menyala.

Langit terlihat sangat cerah meskipun malam, sehingga dapat membantu mereka dalam penerangan.

Lalu, setelah selesai, SandyKala pun masuk ke dalam pondok. Ia melihat Jevika yang sedang menangis terseduh-seduh.

"Tak heran kenapa sajak-sajakmu sangat menyedihkan," sahut SandyKala sambil mencoba melemparkan sedikit humor dalam situasi yang tegang.

Jevika mengangkat wajahnya, air mata masih mengalir di pipinya. "Kita harus segera pergi dari sini. Kita tidak bisa terus menerus berada di sini; tempat ini sangat berbahaya," ungkap Jevika dengan tersedu-sedu.

"Akupun menginginkan itu, namun apakah menangis dapat menangani masalah?"

Lalu, Jevika menghapus air mata di wajahnya dengan punggung tangan dan berkata, "Mungkin tidak, tapi terkadang menangis adalah cara kita merelakan kelemahan kita. Itu bukan hanya tentang menyelesaikan masalah, tapi juga tentang melepaskan tekanan yang kita rasakan di dalam. Dan kadang-kadang, kita perlu melepaskan sebelum kita bisa melangkah maju."

"Seandainya aku bisa menangis, mungkin aku akan menangis. Namun air mataku nampaknya telah kering," ujar SandyKala.

"Bagaimana bisa air mata kering?" tanya Jevika.

"Air mataku telah kering karena aku telah menahannya begitu lama. Aku terlalu takut untuk membiarkan perasaanku keluar, aku takut terlihat menyedihkan. Menangis hanya membuatku, terlihat menyedihkan."

"SandyKala," panggil Jevika, seketika suasana menjadi berubah. Jevika yang tadinya menangis menjadi reda dan merasa prihatin terhadap SandyKala.

"Ternyata kau penipu yang handal ya, kau bahkan menipu dirimu sendiri," lanjutnya.

"Aku sedang tidak menipu diriku sendiri, aku sedang berdamai dengan luka."

"Aku tak menyangka, orang sepertimu bisa terluka. Luka apa yang membuatmu menjadi seperti ini?" tanya Jevika.

"Ah, sudahlah... Ini sudah malam. Cepat tidur! Besok kita akan memikirkan rencana melarikan diri dari pulau ini," ujar SandyKala mengalihkan percakapan.

Jevika hanya menghela nafas.

SandyKala dan Jevika tidur dengan berjarak. SandyKala tidur di pojok dinding sebelah kanan, sementara Jevika tidur di pojok sebelah kiri. Mereka tidur beralaskan dedaunan dan menggunakan baju sebagai bantal. Saat itu, SandyKala tidur duluan dengan membelakangi Jevika.

Setelah mengobrol dengan SandyKala, Jevika merasa tenang, lalu ia pun mencoba untuk tidur.

...

Suasana pada malam itu sangat tenang, dengan latar belakang suara jangkrik yang berirama, ombak yang berdesir, dan suara angin yang lembut.

Hingga tibalah di sepertiga malam.

Samar-samar Jevika melihat SandyKala bangun dan berdiri di dekatnya. Jevika nampak ketakutan, ia tetap berpura-pura tidur. Selama tidur, dia sengaja menyelimuti tubuhnya dengan gaunnya, untuk waspada.

Ia terus memantau gerak-gerik SandyKala. Ia melihat SandyKala tampak gelisah, Kemudian, SandyKala keluar dan kembali lagi. Setelah itu, SandyKala melakukan sholat. Setelah selesai sholat, Jevika mendengar SandyKala melantunkan ayat suci Al-Qur'an dengan lembut, yang terdengar sangat indah hingga membuat Jevika nyaman mendengarnya.

"Kau tak tidur semalaman ya?" tanya SandyKala setelah selesai mengaji.

"Dari mana kau tahu aku tak tidur?" tanya Jevika sambil bangkit dari tidurnya.

Lalu SandyKala tersenyum tipis dan berkata, "Matamu dari tadi berkedip-kedip."

Jevika nampak merasa sangat malu.

"Kau, tadi sedang melantunkan apa?" tanya Jevika menutupi perasaan malunya.

"Aku mengulang hafalanku Qur'an ku," jawab SandyKala.

"Aku senang mendengar lantunanmu, sungguh menenangkan," kata Jevika.

"Aku sering melantunkan ayat suci, Al-Qur'an ketika sedang gelisah, entah mengapa setelah membacanya hatiku terasa tenang," ujar SandyKala.

"Kau menghafal Al-Qur'an?" tanya Jevika.

"Iyah."

"Kau sungguh cerdas, aku pernah melihat Al-Qur'an sewaktu Fayona mengajakku ke toko buku, sebanyak itu halamannya, kau hafal semua?"

"Iyah."

"Wow, luar biasa!"

"Jangan memujiku, pujian sering membuatku lalai."

"Kau sendiri, mengapa belum tidur?"

"Aku tidak bisa tidur, biasanya sebelum tidur aku menulis sajak, untuk meluapkan perasaanku."

"Kalau begitu sebagai gantinya, kau luapkan saja sajak-sajakmu kepadaku dan aku akan mengingatnya, bila perlu, aku bisa mengkritik sajakmu."

"Tidak, aku tidak mempercayaimu, kau orang yang sangat menyebalkan, bisa-bisa sajakku di kritik habis-habisan."

Lalu SandyKala pun tertawa.

"Oh iya, Jevika, tidurlah... Jangan takut terhadapku, aku tidak akan berbuat macam-macam terhadapmu, sebab di dalam Islam, kami di ajarkan untuk memuliakan wanita, dan menjaganya," jelas SandyKala meyakinkan.

Mendengar perkataan SandyKala, Jevika nampak lega.

"Tidurlah, Jevika. Besok kita akan melakukan petualangan dan merencanakan sesuatu agar bisa keluar dari pulau ini, kau perlu istirahat untuk berfikir jernih," lanjut SandyKala.

Lalu Jevika pun mengangguk.

Bersambung...

Di Penghujung Sajak [End] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang