Tiga hari kemudian di Kantor Polisi.
"Bagaimana, Pak? Apakah dia sudah mau mengaku?" tanya Fayona.
Darell duduk di samping Fayona, menemani.
"Maaf, Nyonya," jawab seorang petugas polisi.
"Hingga saat ini, dia bersikeras mengatakan bukan dia yang menjadi dalang dari penculikannya, dan dia tetap bungkam ketika ditanya seputar kepenculikan," lanjutnya.
Lalu Fayona pun memegang keningnya, merasa frustrasi.
"Namun, Nyonya, tenang saja. Kami akan terus mendesaknya agar mau mengakui semuanya," petugas Polisi mencoba menenangkan.
"Maaf, Pak, kita tidak bisa terus mengandalkan dia seorang. Kita harus tetap mencari dengan cara lain," sahut Darell.
"Anda benar, Pak Darell," kata petugas polisi dengan serius. "Kalian tenang saja, kami akan melanjutkan penyelidikan ini dengan berbagai cara dan tidak hanya bergantung pada tersangka."
Terdengar di luar kantor polisi suasana sangat riuh, sebab paparazi telah menyebarkan bahwa penculik Jevika sudah tertangkap.
Lalu Fayona menyahut, "Pak, boleh saya bertemu dengan orang itu?"
"Anda ingin bertemu dengan tersangka?" jelas petugas polisi.
"Iya, pak," jawab Fayona meyakinkan.
Polisi diam sejenak kemudian berkata, "Baiklah, ayo ikut saya,"
[Mereka berbicara dengan berbahasa Inggris.]
Fayona mengikuti petugas polisi ke ruang interogasi untuk bertemu dengan tersangka.
Darell tidak ikut, sebab hanya satu orang yang diperbolehkan.
Ruang interogasi tampak tenang dan minim dekorasi. Di tengah ruangan, ada meja dengan dua kursi di sisi berlawanan, satu untuk Fayona dan satu lagi untuk tersangka. Dinding-dindingnya dilapisi dengan warna netral seperti putih dan abu-abu.
Tersangka menatap Fayona dengan tatapan tajam, namanya Tyon. Fayona duduk di kursi yang disiapkan untuknya. Suasana pada saat itu sangat tegang. Tyon terus memelototi Fayona dengan ekspresi yang sinis.
"Aku tak akan mengatakan sesuatu padamu! Walaupun kau bunuh aku!" tantang Tyon dengan penuh kesinisan.
"Aku ingin bertemu denganmu bukan karena aku ingin menekanmu, namun aku ingin mencurahkan isi hatiku padamu," ujar Fayona dengan tenang.
Tyon pun tampak heran, kemudian mendengarkan apa yang dikatakan oleh Fayona.
Fayona pun mulai bercerita, "Kau tahu, 20 tahun yang lalu aku pernah melahirkan seorang putri, dia sangat cantik dan menggemaskan, pada saat aku sedang menulis dia selalu berada di sampingku, dia menatapku dengan penuh kagum.
Dia sering mengatakan, "Ibu suatu saat nanti, aku ingin menjadi penyair seperti ibu, aku akan menulis kisah Ibu dan Ayah di sepanjang puisiku."
Fayona melanjutkan ceritanya dengan nada yang penuh nostalgia, "Kami menghabiskan banyak waktu bersama, mengejar matahari terbenam, bermain di taman, dan berbicara tentang impian-impiannya. Dia adalah anak satu-satunya yang ku miliki.
Namun, suatu hari terjadi tragedi yang menimpa putriku. Fayona terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca, "Saat itu, ia diculik secara tiba-tiba, aku dan suamiku sudah mencarinya kemana-mana, namun tetap tak membuahkan hasil. Hingga suatu ketika, kami berhasil menangkap penculik itu, dia mengatakan anak kami tak bersamanya, anak kami berusaha kabur sewaktu diculik hingga ia masuk ke dalam jurang dan terbawa arus sungai yang sangat deras di dalam hutan."
Fayona melanjutkan dengan suara yang penuh emosi, "Kami merasa seperti dunia ini runtuh saat mendengar bahwa putri kami masuk ke dalam jurang. Itu adalah berita yang sangat mengerikan.
Para tim evakuasi telah berusaha dengan segala upaya untuk mencari putri kami di sekitar jurang dan sungai yang berbahaya tersebut. Kami merasa sangat cemas dan berharap agar dia ditemukan segera, namun yang kami dapatkan hanyalah pakaian anakku yang sudah tercabik-cabik.
Para tim evakuasi dan polisi sudah mencarinya selama berbulan-bulan. Namun tak kunjung dapat jawaban selain baju yang tercabik-cabik. Dan mereka menyimpulkan bahwa anak kami sudah tidak terselamatkan. Kemungkinan anak kami sudah dimakan hewan buas.
Namun aku dan suami tetap berharap adanya keajaiban, walau tim evakuasi dan pihak kepolisian sudah menyerah mencarinya, aku dan suami mengunjungi sungai itu setiap harinya. Namun pencarian kami hanya sia-sia.
Sampai sekarang ia tak pernah di pertemukan, mungkin benar dia sudah meninggal, aku hanya berharap semoga putriku bahagia di Alamnya.
Lalu, aku bertemu Jevika, dia memiliki umur yang sama dengan putriku jika putriku masih hidup. Jevika juga memiliki mimpi yang sama dengan putriku.
Melihat Jevika, mampu mengobati kerinduanku terhadap putriku. Walaupun kami baru bertemu, namun aku merasa ada ikatan batin di antara kami, Aku sungguh menyayanginya, layaknya anakku sendiri." Saat itu Fayona berbicara sembari meneteskan air mata.
Dan ia pun berkata lagi, "Aku tak menyangka jika Jevika harus mengalami kejadian tragis, yang sama dengan yang putriku alami. Sungguh aku merasa gagal dalam menjaganya." Saat berbicara, air mata Fayona terus saja mengalir.
Mendengarkan Fayona, Tyon hanya tertunduk, tidak mengatakan sepatah kata pun.
"Baiklah, itu saja yang ingin aku sampaikan," lalu Fayona mengelap air matanya.
Dan beranjak untuk pergi.
Saat itu, Tyon mengepalkan tangannya sambil melihat Fayona yang hendak keluar ruangan.
Lalu Tyon berkata, "Dia berada di pulau yang tak berpenghuni, pulau itu adalah Pulau yang terlupakan, sebuah tempat yang hanya sedikit orang tahu..."
Fayona menghentikan jalannya dan langsung menoleh ke Tyon, kemudian berkata, "Di mana letak pulau itu?"
"Pulau itu berada di tengah samudra luas, di sana terdapat sebuah pulau tak berpenghuni yang bernama Pulau Serendika. Pulau ini terletak di daerah terpencil di Pasifik Selatan, di antara koordinat lintang 20° Selatan dan bujur 150° Timur. Pulau Serendika dikelilingi oleh perairan biru yang dalam dan penuh misteri," jawab Tyon.
"Siapa dalang di balik semua ini?" tanya Fayona.
"Aku takkan memberitahunya padamu, sebab aku telah terikat janji. Aku tak ingin ibuku kenapa-kenapa," ujar Tyon.
"Aku memberitahumu, sebab, teringat dengan ibuku, ibuku sama sepertimu, wanita yang kuat. Aku akan mengorbankan apapun untuk ibuku, walaupun taruhannya nyawaku sendiri," lanjut Tyon sembari mengeluarkan air mata.
Lalu petugas polisi masuk ke dalam ruangan. "Nyonya, kami akan menanganinya, kamu telah mendengar semua percakapan kalian,"
Fayona pun mengangguk lalu berjalan keluar dengan lamunan.
"Bagaimana, Ka?" tanya Darell.
Terlihat di belakang Darell, sudah ada Jenifer.
Dalam keadaan masih shock, Fayona perlahan menjelaskan, "Je-Jevika, dia diculik dan dibawa ke pulau tak berpenghuni," lalu Fayona mengusap kedua tangannya di wajahnya, sembari menangis.
Mendengar itu, Darell sangat kaget, begitu juga Jenifer. Namun, Jenifer tidak mengucapkan sepatah kata pun, ia hanya diam dan mendengarkan.
"Polisi akan segera menanganinya," ujar Fayona.
"Kita harus segera bergegas kesana, sebelum dia kenapa-napa. Aku pernah mendengar tentang pulau itu, pulau itu sangat berbahaya. Banyak hewan buas,"
"Iya, Darell, kau benar," sahut Fayona.
[Di terjemahkan dari bahasa Inggris.]
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Penghujung Sajak [End]
RomanceJevika, seorang penyair yang tinggal sendiri di desa terpencil yang jarang di jamah manusia. Ayahnya seorang politisi terkenal dan menyembunyikannya karena Jevika adalah hasil dari perselingkuhannya yang bisa merusak citra Ayahnya yang dianggap sang...