Varsha Eira, itu aku. Aku lahir didalam rumah yang rusak, bukan saja rumah ku yang rusak, tapi didalamnya juga.
Di umur ku yang ke 4 tahun. Setiap harinya aku mendengar suara teriakan, umpatan, barang-barang pecah, dan suara tangisan yang pilu. Membuatku menangis mendengar hal itu setiap hari. Tapi saat umurku naik ke 5 tahun hal itu sudah biasa ku dengar setiap hari.
Saat aku keluar kamar, saat huru-hara itu selesai, aku melihat senyuman ibuku yang pahit, aku langsung memeluk ibuku dan bertanya apakah ibu baik-baik saja. Dan seperti biasanya tak ada sekalipun ibu berkata "ibu kesakitan" tapi dia mengatakan "ibu baik-baik saja."
Setiap malam aku melihat ayah berbicara tak karuan apa yang dibicarakan, mungkin mabuk. saat ayah datang dengan keadaan seperti itu ibu langsung menyuruhku masuk kamar. Saat pintu kamarku tertutup ibu menjadi samsak ayah.
Pedih, lelah tinggal dirumah rusak ini.
Suatu hari, lagi-lagi terdengar suara huru-hara itu lagi. Membuatku menutup telingaku, saat sudah selesai aku membuka pintu kamarku dan melihat ibu menangis tersedu-sedu, baru kali ini saat membuka pintu kamarku bukannya aku melihat senyuman ibu. Tapi melihat tangisan pilu itu.
Aku langsung memeluk ibu, aku merasakan perasaan lelah dari ibu. "Maafkan ibu, Sha..."
***
Mataku berair, tubuhku mematung perkataan terakhir ibu, pelukan terakhir ibu. Ibuku telah tergantung diatas kursi dengan badan dingin.
"Ibu...."
Bibirku bergetar dan tak bisa mengatakan apapun lagi, seluruh hidupku runtuh saat itu salah satunya kehangatan ku hilang.
Sejak saat itu juga aku kabur dari rumah, tak ingin sama sekali diriku melihat wajah bajingan yang membuat hidup ibuku sakit hingga dia membunuh dirinya sendiri.
Saat aku menangis di gang sempit dengan badanku yang basah kuyup karena air hujan, dingin. Aku merasakan seseorang memayungi diriku, lalu aku mendongakkan kepalaku melihat wanita separuh baya yang akhirnya sekarang menjadi bosku. Ya, aku bekerja paruh waktu dari umurku 5 tahun, bekerja sebagai pelayan toko pancake ibu tersebut. Rasanya sangat sakit saat dipaksa dewasa padahal masih kanak-kanak.
Saat itu, aku tidur dengan menumpang dirumah bekas gudang di toko pancake tersebut, aku bekerja paruh waktu untuk bersekolah SD, tapi lama-lama aku memiliki beasiswa untuk anak tak mampu dan juga Beasiswa prestasi jadi aku sekolah tanpa biaya. Aku bisa bekerja paruh waktu dan menyisihkan gaji ku untuk ku tabung.
Saat aku kelas 6 SD. Di saat aku pulang sekolah, hujan turun dengan derasnya. Aku melihat siswa lain dijemput oleh orang tuanya, melihat mereka dipayungi oleh orang tuanya. Aku hanya melihat dari kejauhan, iri.
Aku menunggu hujan reda sambil melihat hujan, Sudah dua jam aku menunggu hujan reda, aku menghela nafas karena hujan tak kunjung reda. Aku berlari memilih menerjang hujan, tidak peduli dengan baju seragam atau diriku sendiri.
Karena rintik hujan semakin deras dan sakit saat mengenai wajahku, aku memilih meneduh lagi disebuah rumah reyot. Kukira rumah reyot tak berpenghuni, ternyata ada seorang nenek-nenek yang menghuni rumah itu.
Sakit rasanya melihat seorang nenek seorang diri dirumah reyot tak layak huni. Nenek itu menyuruhku masuk kerumah reyotnya, dari situ entah mengapa aku mempunyai semangat hidup saat aku bisa bersama nenek tersebut, dia adalah nenek Piyah, orang penting yang ada di hidupku.
Selepas pulang sekolah aku selalu mampir kerumah reyot nenek Piyah, dan melakukan pekerjaan rumah untuk membantunya. Hingga, dia menutup usia. Entah mengapa orang yang aku sayang selalu pergi, apakah aku pembawa sial, sial.
Nenek Piyah mewariskan rumah reyot itu kepadaku, walau tak layak huni, aku akan menempati rumah tersebut untuk menghargai pemberian terakhir nenek Piyah. Aku sudah tak tinggal di gudang toko pancake memilih tinggal di rumah reyot tersebut, walau setiap hujan turun aku harus menyiapkan ember karena genteng bocor.
Di umurku ketiga belas, aku menjadi murid SMP jalur beasiswa. Pertama kalinya aku bisa merasakan betapa sakitnya hatiku saat hujan turun bagaimana setiap hujan itu turun dadaku sesak sampai aku menangis. Terakhir kali aku menangis adalah saat kepergian ibuku, tapi saat hujan turun aku tak bisa menahan rasa sakitnya.
Aku ingat saat jam 10 malam saat aku sedang membersihkan meja toko, ada seseorang laki-laki yang saat menangkap mataku membuat hatiku yang dingin mendadak menghangat. Tapi aku menggelengkan kepalaku memilih fokus membersihkan meja, aku mendengar laki-laki itu memanggil bosku "ibu" dan bosku memanggil laki-laki itu "Biru"
Aku baru menyadarinya sekarang bahwa dunia itu sempit.
Di umurku yang ke lima belas tahun, saat aku hampir lulus SMP, di hari ulang tahunku, aku seperti biasanya pulang berjalan kaki dan ingin merebahkan diri sepulang dari bekerja paruh waktu, saat aku sampai dirumah aku melihat 'bajingan' itu didepan wajahku.
Dia tampak berbeda dari yang dulu, sekarang dia tampak kurus tapi aku tak peduli. Dia bersujud didepanku dan menangis membuatku yang tak ingin menitikkan airmata terpaksa menitikkan airmata. Tapi sungguh, aku belum bisa melupakan bagaimana hidupku hancur hanya karena bajingan ini.
Aku hanya ingin tak melihat wajah bajingan itu. Seperti sekarang ini.
***
"Kenapa kau kesini?"
"Sha....ayahmu ini ingin bertemu, sudah lama sekali anakku."
Bersambung....
Jangan lupa vote ya....
KAMU SEDANG MEMBACA
Regen
Teen Fiction"Kita bertemu lagi ya, aku juga tidak mengerti kenapa takdir kita selalu dipertemukan, yang membuat takdir ini sakit adalah kita dipertemukan tapi kau belum bisa mencintaiku." -Varsha Pertemuan ini menyakitkan tapi juga obat kerinduan, selama ini hu...