1. Prolog

733 58 44
                                    

Malam ini hujan turun deras, petir menyambar kuat, dan badai juga ikut menghantam. Jantung seorang gadis yang tengah berdiri di seberang rumah sampai bertalu kencang saking menahan takutnya. Tubuhnya menggigil, sesekali ia menutup telinga dengan kedua tangan kala suara guntur mengejutkan dirinya.

Dari luar, rumah itu tampak begitu dingin mencekam.

Shin Jiya menjadi tambah ragu untuk melangkahkan kaki menuju tempat tinggalnya saat ini. Bukan rumahnya, tapi di sana lah ia tinggal untuk saat ini. Dari seberang rumah, ia berdiri terpaku tanpa ada pelindung apapun yang melindungi tubuhnya. Jaket berbahan kain yang dipakai sudah tak mampu menahan tembusnya air.

Sebelah kaki yang ia majukan sejenak ia mundurkan kembali. Tak ingat lagi Jiya sudah berapa lama berada di seberang rumah. Ingin masuk, tapi sungguh ia tidak ingin bertemu dulu pada si pemilik rumah. Jika pergi, ia juga tak tahu akan pergi kemana. Dia tak punya apa-apa, saat ini ia hanya bisa bergantung pada si pemilik rumah.

Pegangan pada tali tas Jiya eratkan, sungguh kuyup tubuhnya malam ini. Rasanya dia sudah tak sanggup untuk terus menegakkan kaki di tengah hujan badai begini.

Tin!!

Jiya tersadar dari lamunannya. Tanpa menerka juga ia tahu siapa orang yang sudah menegurnya lewat klakson mobil.

Min Yoongi, si pemilik rumah. Pria itu memberhentikan mobilnya tepat di hadapan Jiya, artinya gadis Shin harus masuk ke dalam mobil agar mereka bisa masuk bersama ke dalam rumah.

Mau tidak mau Jiya melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam mobil pria itu. Namun, sebelum Jiya benar-benar masuk, ia merundukkan kepala agar bisa mencapai jendela mobil dan berbicara pada pria Min.

"Aku basah." Ucapnya setelah melihat Yoongi membuka penutup jendela mobil.

"Itu terjadi karena kau bodoh. Sekarang cepat masuk." Yoongi membalas ucapan Jiya tanpa menoleh gadis itu. Biasa baginya melihat kebodohan dan kecerobohan Jiya.

Tanpa menunggu bermenit-menit lamanya, mereka berdua sudah masuk ke dalam rumah. Kesunyian kembali merambat masuk ke dalam hati Jiya. Sosok Yoongi di rumah ini tak mampu mengusir rasa sunyi. Rumah dingin, dan Yoongi sendiri pun begitu. Pria itu lebih dingin dari apapun.

Pakaian atas yang sudah basah Jiya buka begitu saja, tak peduli Yoongi masih berlalu lalang di dalam kamar. Toh, pria bermarga Min itu selalu bilang, 'Aku tidak akan pernah bernapsu padamu', kalimat itu lah yang selalu keluar dari mulut manis Min Yoongi.

"Tidak mandi dulu?" Tanya si pria, lagi-lagi tanpa menoleh. Ia tahu Jiya hanya akan mengganti pakaian tanpa membersihkan diri terlebih dahulu. 

Mendengar hal itu Jiya hanya menggeleng sebagai tanda jawaban. Terserah Jiya mau bagaimana, memangnya Yoongi mau apa? Mengusir Jiya? Seumur hidup yang Jiya tahu, hal itu tak pernah Yoongi lakukan padanya. Meski dingin, Yoongi tak pernah sekalipun membentak dan mengusir keberadaan dirinya.

"Jangan membuatku repot hanya karena nanti kau sakit." Lanjutnya berbicara setelah hanya mendapatkan gelengan dari si gadis.

"Kau tidak perlu merawatku kalau begitu."

"Jangan bebal, Shin Jiya."

"Pergi lah, aku sedang tak ingin melihat wajahmu." Kali ini Jiya balik berbicara datar, biasanya Jiya akan menuruti semua ucapan Yoongi.

Ya, dia sungguh tahu Yoongi lah yang memiliki rumah ini. Akan tetapi, suasana hati wanita tidak ada yang bisa menandingi. Kalau ia butuh kesendirian, siapapun akan diusirnya.

Untungnya si pemilik rumah sudah paham bagaimana watak sahabatnya itu seperti apa. Tanpa meresepon apa-apa lagi, Yoongi melangkahkan kaki pergi dari kamar itu meninggalkan Jiya seorang diri. Bersama dengan pikiran negatif yang selalu menghantui dirinya.

Made in Heaven Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang