11. Ending or?

318 34 63
                                    

Sepasang suami istri itu berjalan beriringan masuk ke dalam hunian mereka setelah mendatangi makam kedua orang tua mereka masing-masing.

Yoongi dan Jiya kini sudah berada di negara asal. Perasaan keduanya masih berkecamuk meski telah mencapai impian mereka. Masih banyak luka yang belum sembuh atau bahkan baru terjadi. Kendati begitu, tidak ada alasan bagi mereka untuk saling membenci. Yang ada, sejoli itu semakin saling mengobati.

Yakin tidak ada luka yang terus berlarut. Waktu menyembuhkan semua. Bahkan orang yang dicinta juga ada di sisi.

Perasaan Yoongi saat ini tidak bisa dijabarkan. Antara terluka, menyesal, dan membenci diri sendiri. Andai dia tidak gegabah mengambil rencana itu, andai waktu bisa terulang lagi, andai dia tidak seegois itu. Akan tetapi, bertemu dengan Jiya adalah hal yang paling berharga baginya. Bukan karena Jiya dia menjadi egois, Yoongi hanya berusaha mengambil jalan pintas terbaik agar semua keadaan tetap baik-baik saja.

Namun, Ayahnya bertindak lain. Menjadikan dirinya terkesan sangat jahat. Sungguh, Yoongi tak berniat untuk mengkhianati sang Ayah dengan mengambil seluruh harta. Yoongi tidak setamak itu.

Mungkin memang semua sudah garis takdir. Kejadian tersebut membuat Yoongi sadar kalau sang Ayah begitu mencintai dirinya.

Dadanya kini terasa sesak, Jiya datang menenangkan. Min Jiya, adalah obat segalanya. Tempat ia menuangkan segalanya. Pelukan yang diberikan sang istri selalu terasa hangat, tidak berubah sedari dulu saat pertama mereka berpelukan.

Pinggang ramping itu Yoongi remat erat, melampiaskan emosi dalam diri. Ia tahu, Jiya pun sedang merasakan hal sama sepertinya. Namun Jiya sudah belajar menerima, lukanya hampir seluruhnya sembuh.

"Katakan kalau aku jahat, Ji." Ucapan Yoongi sedikit tak jelas karena ia sedang menenggelamkan wajah di ceruk leher Jiya.

Untungnya Jiya masih mampu menangkap ucapan tersebut dengan baik.

"Jangan katakan itu, ku mohon. Kau membuatku merasa buruk. Karena aku, kau jadi.. dan Ayah.."

"Apa maksudmu?" Masih belum mengerti perkataan Jiya yang terbata-bata.

"Ya. Bukannya semua ini berawal dari aku? Kalau saja bukan karena aku, kau pasti tidak akan memilih rencana itu. Jika saja dari awal aku tidak memikat hat-"

"Jiya. Hentikan. Sudah, tidak ada yang perlu kita bahas lagi. Luka yang terjadi hari ini dan sebelumnya cukup lah menjadi masa lalu. Besok kita dilarang untuk bersedih seperti ini. Cukup hari ini saja."

Mengangguk pelan, Jiya mengerti apa yang prianya ucapkan. Sudah, luka mereka sudah cukup sampai disini. Jangan ada luka baru lagi.
Dia menangkup wajah Yoongi yang masih saja terus sembab sedari pria itu datang ke Luxembourg.

"Mau tahu sesuatu?" Sedikit kalimat dari Jiya sukses mengambil sebagian sedih yang dirasakan Yoongi saat ini.

"Apa?"

"Sewaktu aku tinggal di Luxembourg, Jimin bilang setiap hari kau selalu menanyakan tentang ku."

"Dasar mulut ember."

"Huh? Apa itu benar?" Jiya melebarkan bola mata, setengah kaget dan setengah tidak percaya.

"Heum."

"Padahal aku tidak mempercayai apa yang Jimin katakan saat itu. Aku berpikir kalian hanya bersekongkol untuk menenangkan hatiku."

Tatapan Yoongi naik agar bisa melihat kedua mata Jiya sedalam-dalamnya. Karena saking dalamnya ia mencintai, kadang kala Yoongi takut kehilangan. Kadang kala juga, pria berkulit pucat itu sedikit merasa takut kalau mereka sedang membahas pria lain. Padahal yang mereka bahas hanya lah seorang Jimin. Adik kecil kesayangannya.

Made in Heaven Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang