Acara sakral sudah seminggu terlewati. Tidak ada yang spesial dalam acara tersebut. Semua serba ala kadarnya, tidak bermewah-mewahan dan tidak banyak orang yang hadir sebagai saksi. Hanya ada dua orang sepupu dari pihak Yoongi sebagai saksi mata pernikahan mereka. Jangan berbicara tentang tamu, Yoongi tak mengadakan pesta. Semuanya murni hanya akad dalam pernikahan saja.
Jiya tak menuntut banyak, akhir-akhir ini dia lelah untuk sekedar memberontak. Hatinya bilang, cukup ikuti saja alur yang Yoongi ciptakan. Selagi Jiya masih diberi kehidupan yang cukup terbilang layak, dia akan diam. Firasatnya mengatakan, akan ada hal lain lagi yang berubah ketika ia telah menyandang marga Min. Keadaan berubah menjadi baik atau malah kebalikannya? Entahlah, dia belum bisa menebak bagaimana akhir dari kehidupannya.
Dalam seminggu setelah mereka menikah, ini adalah kali kedua Yoongi pulang tidak tepat waktu. Hari pertama pria itu pulang terlambat, Jiya diam sembari berpura-pura tidur. Namun, ia menyadari Yoongi pulang dengan keadaan lemah, napasnya tersengal-sengal memburu tidak teratur. Kalau dibayangkan, pria berkulit pucat itu seperti habis dikejar mangsa.
Keesokan paginya, Jiya menemukan kemeja yang Yoongi kenakan malam itu telah robek, bagian kerahnya ada noda darah yang sudah mengering. Setiap bertanya, Yoongi hanya memberi kecupan ringan di pelipis sang istri sebagai jawaban. Jiya tentu saja tak merasa puas. Menurutnya, mengapa tak ada satupun manusia di dunia ini yang mau membuka mulut untuknya? Dia hanya dibiarkan diam kebingungan tanpa tahu apapun.
Dan malam ini, adalah kali kedua Yoongi pulang terlambat. Berjalan mondar-mandir sudah Jiya lakukan sejak beberapa menit yang lalu di dalam kamar kecil ini. Khawatir dan cemas, tentu saja. Malam semakin larut, tetapi Yoongi belum juga menunjukkan tanda-tanda akan kehadiran dirinya.
Tepat ketika Jiya menurunkan bokong di atas ranjang, suara pintu kamar terbuka, menampilkan sosok pria tampan namun lusuh di hadapannya. Siapa lagi kalau bukan Min Yoongi, pria yang kini sudah cocok disebut suami oleh Jiya.
Tatapan dari mata kecil suaminya terlihat sendu, tampak sekali kalau Yoongi sedang dilanda rasa lelah. Kedua tangan kokoh tersebut membawa satu kantung plastik berisi penuh makanan ringan. Semakin dekat jarak mereka, Jiya semakin bisa menangkap bahwa ada yang tidak beres dari Yoongi.
"Kenapa belum tidur?"
Belum lagi Jiya bertanya, prianya sudah lebih dulu melayangkan tanya.
"Apa bisa aku tidur tanpa mu disini? Kau pulang terlalu larut, kau tahu?!"
Yoongi diam tidak menjawab. Melanjutkan langkah sampai berdekatan dengan meja nakas, ia meletakkan kantung plastik bawaannya. Dengan gerakan lemah Yoongi membuka kemeja kusutnya, menyisakan tubuh bagian atas yang tak terlindungi kain apapun lagi.
"Ini, aku sudah membelikan apa yang kau minta tadi pagi." Yoongi menunjuk kantung tersebut tanpa menoleh Jiya.
Lamban sekali, Jiya tidak suka bertele-tele dan Yoongi selalu acuh tak acuh menjawab pertanyaannya. Cepat-cepat Jiya melangkah, mendekati si pria yang kini tengah duduk di atas ranjang.
Kedua tangan Jiya merangkum rahang wajah sang suami ketika sudah berdekatan, memastikan apa yang dilihatnya tadi tidak lah salah.
"Yoongi. Apa kau masih belum mau bercerita padaku?" Tanya Jiya langsung ke inti, sesungguhnya hatinya langsung berdenyut sakit saat mendapati sebelah mata Yoongi telah lebam.
"Aku tidak mengapa, Jiya. Sungguh. Jangan khawatirkan aku. Daripada itu, aku lebih mengkhawatirkan dirimu. Aku takut kau terluka."
"Apa maksudmu?"
Yoongi mengambil alih tangan Jiya yang membingkai wajahnya, ia mengecup tangan lembut itu berkali-kali. Seolah-olah tengah menunjukkan bahwa Jiya adalah wanita satu-satunya yang sangat amat harus ia lindungi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Made in Heaven
FanfictionSELESAI, 13 NOVEMBER 2023 Tidak ada yang tahu bagaimana lelahnya Yoongi menutupi sesuatu agar semuanya tidak menjadi luka dan tidak ada yang terluka. Kehidupan rumah tangganya berada diambang hidup dan mati.