Lima bulan kemudian.
Jiya masih tinggal di sebuah apartemen yang Jimin sediakan untuknya. Dalam kurun waktu selama empat bulan ini, tak pernah sekalipun Jiya bertemu dengan pemilik hatinya. Jangankan bertemu, menghubungi saja pun tak pernah. Seingatnya, Yoongi hanya sekali menghubungi pada saat awal-awal mereka hidup berjauhan. Karena di awal berpisah dengan Yoongi adalah hal yang sulit dilakukan oleh Jiya, dia tidak bisa tidur pun makan secara teratur.
Jimin sebagai teman yang baik, berusaha mencari cara agar Jiya bisa hidup dengan baik. Maka, jalan satu-satunya pada saat itu hanyalah berusaha menghubungi Yoongi. Sesuai dengan harapan, pria Min meminta waktu sebentar agar dapat berbicara pada sang istri. Yoongi ingin istrinya makan dengan teratur, tidur yang cukup, beraktivitas layaknya orang normal, dan berjalan-jalan kemanapun Jiya mau.
Selama tinggal bersama Yoongi, Jiya tak pernah mendapatkan hal normal seperti itu. Jadi ia harap istrinya bisa hidup dengan layak dan baik sembari menunggu mereka bisa bersama lagi.
Semenjak hari itu, tidak pernah sekalipun Jiya mendapat panggilan dari Yoongi lagi. Pun Jimin seperti merahasiakan keberadaan sepupunya terhadap Jiya. Ketika bertanya, Jimin hanya bilang bahwa Jiya hanya perlu memikirkan diri sendiri, tidak usah memusingkan hal lain. Bagi Jiya itu bukan lah sebuah jawaban hingga ia tak puas mendengarnya. Begitupun Jiya tidak boleh memaksakan Jimin. Dia terus diam sampai lima bulan terlewati.
Kadangkala pikiran buruk terus menghantui Jiya. Membuat Jiya bertanya-tanya, ada apa dan mengapa? Apa yang sudah terjadi pada Yoongi? Mengapa begitu mudah tak menghubungi Jiya? Apa Yoongi dapat hidup dengan baik disana? Apa Yoongi sudah ada pengganti Jiya? Apa Yoongi sudah melupakan Jiya?
Terus bertanya-tanya seperti itu sampai detik ini. Hingga Jiya tak sadar Jimin sudah berada di apartemen itu untuk membawakan bahan masakan. Senyum manis Jimin mengembang karena lagi-lagi ia mendapati wanita Min ini melamun. Entah sudah berapa kali belakangan ini Jimin mendapatinya begitu.
"Kau sudah datang." Jiya berucap seadanya.
" Ya, baru saja. Karena kau tak kunjung membuka pintu, jadi aku buka saja. Takut ada hal buruk terjadi padamu." Jelas Jimin.
Jimin sekarang lumayan senang, Jiya sudah mau berinteraksi dengannya. Tidak seperti di awal Jiya tinggal disini. Wanita itu sama sekali tidak mau membuka mulutnya. Akan tetapi, ia paham bukan karena Jiya sombong atau semacamnya. Wanita kesayangan Yoongi itu hanya kesulitan dan belum bisa dengan mudahnya menerima keadaan.
"Memikirkan Yoongi hyung?"
Kedua manik Jiya langsung terangkat, menoleh pada Jimin yang sedang duduk di hadapannya. Benar, Jiya sedang memikirkan Yoongi. Memangnya apalagi yang bisa Jiya pikirkan selain pria sialan itu. Bisa-bisanya tidak pernah lagi menghubungi Jiya, tidak pernah menanyakan kabar Jiya. Masihkan dia dianggap sebagai istri oleh pria itu?
Manik indah itu berkaca-kaca, sialan sekali memang Min Yoongi itu. Suka membuat Jiya menangis dan berharap, tapi sayangnya Jiya cinta mati.
Uluran tangan beserta usapan pada rambut Jiya sudah Jimin berikan, meminta wanita ayu itu agar dapat lebih bersabar. Seharusnya Jiya tidak boleh sedih, tidak boleh memikirkan apa-apa selain dirinya sendiri. Ya, mau bagaimana lagi. Wanita tetap lah wanita. Tidak bisa berbohong pada hati sendiri.
"Mau aku peluk?"
"Tidak boleh."
Bukan, jawaban tidak boleh tadi bukan Jiya yang menjawab. Sontak saja dua pasang mata milik Jimin dan Jiya lekas menoleh pada sumber suara. Wanita Min menyembunyikan keterkejutannya, sekarang dia malah semakin ingin menangis dan melengkungkan bibir ke bawah. Beda dengan Jimin yang hanya tampak santai setelah mengetahui keberadaan seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Made in Heaven
FanfictionSELESAI, 13 NOVEMBER 2023 Tidak ada yang tahu bagaimana lelahnya Yoongi menutupi sesuatu agar semuanya tidak menjadi luka dan tidak ada yang terluka. Kehidupan rumah tangganya berada diambang hidup dan mati.