Dalam suatu toko, Yoongi berdiri terpaku di hadapan beberapa selimut baru, masih memilah selimut mana yang akan dibeli olehnya. Tidak sekali atau dua kali pria Min itu membolak-balikkan benda lembut tersebut, memastikannya agar tidak salah membeli. Jujur, Yoongi hanya membawa uang pas, tidak lebih. Ada banyak kebutuhan yang harus ia cukupi selain ini. Jadi ia harus benar-benar teliti.
Pilihannya jatuh pada selimut yang tidak terlalu mahal namun cukup mampu menghangatkan.
Menuju kasir, sudah kali ke tujuh Yoongi menghembuskan napas berat. Andai saja selimut tebal yang ada di rumahnya tidak ia buang pada waktu itu, mungkin dia tidak akan membeli selimut lagi. Ya bagaimana tidak mau Yoongi buang, ketika selimut itu ia keluarkan untuk menutupi tubuh Jiya yang kehujanan kemarin, keesokan paginya Yoongi membawa benda hangat tersebut menuju dapur--keranjang pakaian kotor. Akan tetapi, nasib malang telah mendatanginya, selimut tersebut dijadikan kucing sebagai alas tempatnya melahirkan.
Sesungguhnya Yoongi kesal bukan main. Kerap sekali kucing itu mendatangi rumah mereka dan berbuat sesuka hati, padahal hewan tersebut bukan kepunyaan Yoongi. Tidak ada yang memiliki, kucing itu adalah kucing liar. Menganggap rumah Yoongi seperti rumah sendiri.
Sebab itu lah Yoongi membuang selimut tebal tersebut setelah istrinya sudah memindahkan bayi-bayi kucing itu ke dalam kotak.
Selesai membayar, Yoongi teringat akan sesuatu. Dia harus cepat sampai rumah kali ini sebelum gelap menyapa. Pasalnya, akhir-akhir ini ada beberapa pasang mata yang selalu membuntutinya tiap kali ia pulang bekerja. Yoongi harus pintar-pintar mengambil jalan pintas menuju rumahnya, mengelabui musuh agar tak mendapati keberadaan dirinya. Yakin sekali kalau itu adalah orang-orang suruhan sang Ayah.
****
"Sedang apa, Ji?" Yoongi bertanya setelah mendapati Jiya tengah berjongkok di lantai dapur.
Karena tak kunjung mendapat jawaban dari Jiya, ia memajukan langkahnya agar lebih dekat. Ternyata Jiya sedang mengamati bayi-bayi kucing di dalam kotak. Yoongi jadi tak tahan untuk tak mengusap rambut Jiya yang terurai dengan penuh rasa sayang.
"Mereka tidak mau meminum susu buatanku." Inilah yang membuat Jiya terlihat murung sedari tadi, sehingga pertanyaan Yoongi sanggup ia abaikan.
"Artinya mereka tidak minum susu seperti itu." Jelas Yoongi.
"Lalu?"
"Sudah jelas mereka minum susu Mamanya. Begitu saja kau masih bertanya."
Setelah mengatakan itu Yoongi berlalu pergi ke kamar, sementara Jiya sudah memicingkan mata kesal ke arah Yoongi. Yang pria itu katakan memang benar adanya, Jiya saja yang terlalu bodoh.
Jiya berdiri, berjalan mengikuti dimana Yoongi berada. Ia harus mengetahui makanan apa yang dibawa suaminya hari ini. Akan tetapi, begitu sampai kamar, Yoongi sudah lebih dulu mengatakan bahwa hari ini ia tak sempat untuk membeli makanan. Nanti dia yang akan memasak untuk makan malam.
"Yoon." Panggil Jiya ketika prianya hendak masuk ke kamar mandi.
"Heum? Apa lagi? Mau ikut?"
"T-tidak begitu, ya."
"Kalau begitu ada apa? Cepat katakan, aku sudah tidak bisa menahan urineku lagi."
Selama sepuluh detik Jiya tidak mengatakan apa-apa, Yoongi masuk begitu saja. Mengunci pintu, takut saja kalau Jiya bisa sampai masuk menyusulnya, tahu sendiri kalau Jiya itu anaknya seperti apa. Jiya anak yang nekad dan berani. Satu lagi, nakal. Kalau tidak nakal mungkin kejadian semalam tidak akan terjadi.
Sementara Jiya, lagi-lagi menurunkan bahu. Sejujurnya ia ingin bertanya lagi, mungkin ini bukan waktu yang tepat. Kejadian semalam selepas mereka bercinta, Yoongi meminta izin agar Jiya memberikan waktu sedikit lagi untuk menceritakan semuanya. Sedikit lagi sampai hatinya benar-benar siap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Made in Heaven
FanfictionSELESAI, 13 NOVEMBER 2023 Tidak ada yang tahu bagaimana lelahnya Yoongi menutupi sesuatu agar semuanya tidak menjadi luka dan tidak ada yang terluka. Kehidupan rumah tangganya berada diambang hidup dan mati.