Yoongi dan Jiya berlari, terus berlari sekencang yang mereka bisa. Napas sepasang suami istri itu sampai tersengal-sengal, dengan degup jantung yang mengalun keras. Patahan ranting-ranting pohon yang cukup tajam dan menusuk kaki, hanya bisa mereka abaikan. Jangan tanyakan, pria Min itu tidak berpikir lagi untuk melindungi kaki-kaki mereka di saat situasi sedang genting. Genting dan berbahaya, karena mereka berada dalam kejaran sang Ayah.
Bahkan dia tak tahu lagi mengenai kondisi kaki istrinya, ia terus memegang kuat lengan Jiya. Memaksa wanitanya agar tetap kuat berlari, tidak mau sesuatu yang lebih buruk bila harus terjadi. Sialnya, daerah tempat tinggal Yoongi sangat gelap jika malam tiba. Membuat penglihatannya tidak bekerja begitu baik. Akibatnya, sudah berpuluh kali Yoongi dan Jiya tersandung batu dan memasuki genangan air.
"Yoon. Aku tak sanggup." Keluh Jiya pada suaminya.
Tanpa mempedulikan reaksi Yoongi, wanita itu berjongkok untuk memegangi kakinya.
Oh, betapa kacaunya Yoongi saat ini. Ia tidak bisa berpikir jernih. Ia tidak bisa berlari sambil menggendong Jiya, itu akan memperlambat gerakan kaki untuk melangkah lebih jauh. Sementara, ia tidak bisa pula untuk meninggalkan Jiya disini.
"Ji, ayolah. Sedikit lagi. Sampai ke jalan raya."
"Napasku sesak, Yoon."
Sungguh, Yoongi dilanda stress mendadak. Rasa ingin muntah kembali hadir, itu kebiasaannya ketika panik telah menguasai diri. Ia mengusap wajah kasar kemudian ikut jongkok bersama si pujaan hati. Baiklah, dia akan tetap disini mau hidup ataupun mati.
Ia membingkai wajah sang istri. Keduanya tampak kacau dan begitu ketakutan. Namun Yoongi tetap berusaha tenang. Semuanya terlihat gelap menyesakkan, untungnya ada cahaya rembulan yang mampu memberikan penerangan seadanya. Yoongi mengusap halus dahi si pujaan hati, tak mampu untuk tidak memberi kecupan di sana.
Kalau bisa, Yoongi ingin menangis dan berteriak sekuat mungkin. Sayangnya, hal itu nihil sekali untuk dilakukan.
"Jangan takut, sayang. Ada aku disini." Bisiknya lembut.
Ini sungguh gila. Melarang istrinya untuk takut padahal diri sendiri kacaunya bukan main. Tangan mereka kini bertautan kembali, sama-sama merasakan gemetar yang cukup mampu untuk mengetahui bahwa mereka sama-sama sedang kalut.
"Jiya, kita benar-benar sahabat sehidup semati ya."
Yoongi sudah pasrah dengan keadaan, seakan-akan tidak ada lagi harapan untuk mereka berdua. Tersenyum sejamang, lalu kembali menoleh untuk memastikan raut wajah pujaaan hatinya.
"Yoongi.." Jiya merengek takut ketika ia menajamkan pendengarannya.
Suara langkah kaki mulai mendekat.
"Heum, tidak apa Ji. Mau lari sejauh apapun kita pasti akan tertangkap. Lebih baik kita disini saja."
"Yoongi.." Kini Jiya sudah mulai menarik-narik kemeja lusuh yang Yoongi kenakan.
"Jiya. Ingat lah, bahwa aku selalu mencintaimu."
"Yoon."
Bukan Yoongi tidak tahu bahwa Jiya terus memanggilnya. Bukan juga Yoongi mengabaikan setiap panggilan dari si pujaan hati. Namun semakin lama, semakin pula ia merasa lelah dan hanya sia-sia. Cepat atau lambat, sang Ayah pasti akan tetap menemukan keberadaannya.
Suara langkah kaki yang mendekat Yoongi juga tahu. Dia diam dan pasrah begitu saja. Padahal sebelumnya, dia adalah orang yang paling semangat berlari dari jangkauan sang Ayah.
"YOONGI!!"
Semuanya memudar. Yang awalnya gelap, kini semakin gelap. Wajah Jiya dari pandangannya perlahan menghilang. Tapi ia masih bisa mengingat, mendengar, dan merasakan sesuatu dengan jelas. Terakhir kali yang dia dengar adalah suara Jiya. Meraung memanggil namanya berkali-kali. Punggungnya terasa perih, teramat perih sampai dia bisa merasakan sesuatu telah mengalir deras dari sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Made in Heaven
FanfictionSELESAI, 13 NOVEMBER 2023 Tidak ada yang tahu bagaimana lelahnya Yoongi menutupi sesuatu agar semuanya tidak menjadi luka dan tidak ada yang terluka. Kehidupan rumah tangganya berada diambang hidup dan mati.