☂︎☯︎

580 69 4
                                    

.・。.・゜✭・

【☯︎▻ꕥ◅☂︎】

≻───── ⋆✩⋆ ─────≺

Scaramouche selalu sendirian, dibuang oleh penciptanya sendiri, ibunya.

Saat itu Scaramouche cuma duduk dipinggir danau saat malam hari, menatap gugur nya daun daun yang terjatuh di atas danau, ia cuma memperhatikannya dengan wajah datar.

"Kau sendirian?"

Scaramouche terbelalak, ia menoleh dan sedikit terkejut dibuatnya saat mendapati gadis itu sudah berdiri agak jauh darinya.

"Mau aku temani?" tawanya pelan, menangkap satu daun yang gugur dengan senyuman yang perlahan sendu "Aku juga sendirian."

Scaramouche cuma memperhatikan bagaimana gadis itu bertingkah laku dan bertutur kata, caranya tersenyum dan tawanya yang manis yang terus terulang-ulang dipikirannya.

Membuatnya merasa tak lagi sendirian.

*┈┈┈┈*┈┈┈┈*┈┈┈┈

"Kamu!" ucap mereka bersamaan.

Lumine menatap Kakaknya dengan penasaran, Kakaknya seolah mengenal gadis berjubah disamping Venti.

"Aku melihatmu di malam festival waktu itu." ucap mereka lagi secara bersamaan membuat Lumine menatap mereka berdua secara bergantian.

Bertanya-tanya pada diri sendiri, mengapa ia tidak pernah sekalipun melihat gadis berjubah itu sebelumnya tapi Kakaknya iya.

Gadis itu tertawa pelan sementara Aether, ia cuma menggaruk tengkuknya, ini pertemuan pertama yang mungkin akan membekas di kedua anak kembar itu.

"Namamu?" tanya mereka lagi, bersamaan.

"[Nama]."

"Aether."

Gadis itu beralih melirik gadis disamping Aether, Lumine berdehem sejenak sebelum ikut memperkenalkan diri.

"Lumine, Adiknya." senyum Lumine, jarinya menunjuk pada peri terbang disampingnya "Ini Paimon."

"Halo Lumine dan Paimon, senang bertemu dengan kalian." bungkuk [Nama] secara sopan membuat Lumine tertegun sejenak, seolah menyadari sesuatu.

Entah mengapa gestur [Nama] mengingatkan Lumine pada orang berharga miliknya, menyadari itu ia cuma mengepalkan tangan.

"Nah, coba kalian jangan abaikan aku yang disini." ujar Venti, mengangkat kedua tangannya dengan sedih.

[Nama] tertawa "Aku tidak mengabaikanmu."

Venti tersenyum kearahnya "Aku tahu."

Itu terjadi sangat cepat, [Nama] tak mampu menolak saat Venti tiba-tiba mengalungkan kedua tangannya pada leher miliknya dengan jarak wajah yang sangat dekat.

"Kau tidak akan pernah mengabaikan ku, aku tahu itu karena disini yang mengabaikan mu adalah aku." bisik Venti tepat ditelinga [Nama] membuat si empu bergidik pelan.

[Nama] terdiam, ia tidak mengerti apa yang Venti maksud namun dari nada suaranya terdengar penyesalan yang mendalam. Ia mengurungkan diri untuk melepas pelukan Venti dari lehernya.

"Kalian pacaran?" Tanya Paimon penasaran, tangan kecilnya menutup kedua mata namun ia masih bisa melihat pada celah celah kecil diantara jarinya, ia hampir melihat dua orang berciuman.

"Niatnya sih begitu, tapi Nona disamping ini sudah ada yang punya." Venti melepas pelukan dan mendengus pelan.

Paimon penasaran "Siapa, siapa?"

"Barbatos." tawa Venti puas.

Paimon mendelik "Itu mah kamu!"

Aether cuma menghela napas, ia hampir jantungan saat melihat Venti yang hampir mencium gadis itu. Sementara Lumine, matanya tak kunjung berkedip.

"Kami datang kesini ada keperluan denganmu, Venti." ujar Aether, mengganti raut wajahnya menjadi serius.

"Ya, apa itu?" tanya Venti dengan senyuman.

"Adikku." jawab Lumine dengan geram "Kau kemanakan Adikku?"

Venti menghela napas, ia sudah bosan mengatakan hal yang sama terus-terusan "Kan sudah kubilang, Adik kalian sudah mati. Kalian lihat kan patung miliknya yang berdiri disana waktu itu? Itu untuk mengenang kepergiannya." jelas Venti.

"Atau mungkin, kau membunuhnya."

Venti mengulum senyumnya saat mendengar perkataan Aether, tatapan matanya yang ramah berubah datar.

"Bagaimana jika, kalian berdualah yang membunuhnya?"

*┈┈┈┈*┈┈┈┈*┈┈┈┈

"Albedo, apa kau tidak ada keinginan untuk kembali menemui [Nama]?" tanya Mona, menatap wajah rupawan laki-laki kapur itu.

"Untuk sekarang tidak, mungkin saja bahaya bagi kita berdua untuk pergi kerumahnya disaat yang tidak tepat."

"Bahaya?" Mona menaikkan alisnya, rasa bersalahnya membuat ia ingin terus menemui [Nama], gadis yang membuatnya penasaran karena tidak bisa diramal.

Saat Mona mencoba untuk meramal [Nama] secara diam diam yang ia dapati cuma kosong, tak ada apapun.

Albedo cuma mengangguk, ia yang tadi fokus pada penelitiannya beralih menoleh pada Mona yang sedang merenung.

"Aku harap kau tidak terkejut, tapi [Nama] itu sudah pernah mati."

Penyataan Albedo membuat Mona terperanjat, ia berdiri dari duduk dengan mata membulat, menatap tak percaya pada Albedo.

"Dulu, ia pernah mati sekali."

【SERVANT】Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang