Kalau ditanya bagaimana keadaan Aleo sekarang maka jawabannya adalah tamat.
Mereka masih di ruang tamu tapi keduanya tidak duduk berdampingan, sebab sekarang Aleo berlutut di lantai dengan kedua tangan di atas pahanya dan Erick duduk di sofa dengan kaki menyilang dan tangan memegang cangkir teh yang baru diisi.
"Kau pulang jam tiga lewat lima jadi untuk sampai di mansion dua puluh menit lebih lambat itu tidak benar, kan?" Aleo terdiam, tidak berani menjawab Erick yang meski memasang senyum tapi memiliki aura menakutkan.
"Tidak seperti kau ada acara khusus atau apapun, lagipula Daddy sudah memastikan tidak ada hal yang harus diperhatikan jadi kenapa kau pulang terlambat, hm Baby?"
"Yah, a-aku.. itu, aku punya teman jadi eum.. kurasa menghabiskan beberapa saat dengan mereka tidak masalah..." Cicit Aleo.
"Teman?" Nada suara Erick merendah, seperti sedang menahan marah.
Erick tidak benar-benar rela jika Aleo memiliki teman. Dirinya merasa jika Aleo memiliki teman maka dia akan lebih memilih temannya itu dibanding keluarganya, lagipula kebanyakan remaja lebih memilih teman daripada keluarga.
Overthinking, mungkin kata yang tepat untuk Erick. Tapi apa dayanya jika prasangka, takut, dan cemburu sudah memenuhi diri.
"Y-ya..."
"Baby, kau anak nakal."
Deg!
Jantung Aleo berdebar kencang mendengar apa yang diucapkan Erick. Nakal. Hal yang tidak ingin Aleo dengar, terutama jika kata itu ditujukan padanya. Karena itu hanya akan mengingatkannya pada masa lalu menyedihkan.
"Aku tidak ingat pernah membesarkan seorang anak nakal,"
"Tidak ada dari kami yang berharap kau seperti itu,"
"Tidak tahu diri, aku sudah bersusah payah membesarkanmu dan sekarang kau bertingkah dengan melanggar aturan yang sudah kubuat?"
"Seharusnya kau tetap mengikuti aturan yang sudah ada, *Sigh..."
*Plak!* "Menyesal sekali aku sudah merawat anak nakal sepertimu."
"Benar-benar nakal..."
Suara dan perilaku Erick tumpang tindih dengan apa yang ibunya lakukan. Aleo tidak bisa membalas dan hanya bisa mengatur napasnya, berusaha agar tidak terlihat kesulitan di hadapan yang lebih tua. Namun, air matanya berkata lain karena sekarang mata dan pipi Aleo sudah basah karena air mata.
Erick, yang berhenti bicara setelah tehnya habis, melirik Aleo yang menangis dan segera menyadari bahwa Aleo dalam kondisi yang tidak bak.
Jadi dia akan memanfaatkan kondisi Aleo.
"Kenapa kau menangis? Padahal kau yang bersalah di sini,"
"M-maaf..."
"Ah, hentikan saja, aku kecewa~" Erick jelas sekali membuat nada main-main saat mengucapkan itu tapi Aleo yang sudah linglung tidak menyadarinya dan hanya bisa memohon maaf.
Erick menghela napas berat. "Apa yang harus kulakukan adikku sangat nakal."
Aleo dalam keadaan setengah sadar pun menarik celana Erick, kepalanya menunduk sedalam mungkin, dan suaranya yang serak berkata, "Maaf Kakak maaf... Jangan- jangan seperti i-itu, aku- aku tidak n-nakal! Ak-aku tidak akan mengulanginya lagi, aku janji!"
Erick menatap dalam Aleo yang hampir bersujud di kakinya, dengan helaan napas pura-pura kecewa Erick menutup mulutnya—mulutnya yang tidak tahan untuk tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aleo
General Fiction[Slow Update] Aleo. Itu nama si pemuda yang tidak yakin dirinya yatim piatu atau bukan. Karena yang bisa dipastikannya adalah dia sebatang kara. Dan entah kesialan atau keberuntungan, semenjak Aleo memberikan selembar lima ribu kepada seorang laki-l...