Bagian 6. Undangan

1 0 0
                                    

ADALAH rumit apabila bersinggungan dengan orang yang terkenal. Apa pun yang dilakukan menjadi pusat perhatian. Tak jarang pula hal yang seharusnya biasa saja mendadak langsung heboh tak terkendali. Pantas saja infotaiment selalu hiperbola apabila menyajikan berita mengenai artis terkenal.

Melenggang ke kelas, tak kuhiraukan mereka yang tengah bergunjing di belakangku. Mengapa aku tahu? Karena suara mereka terlalu keras untuk ukuran orang yang sedang membicarakan saudara seimannya sendiri di belakang.

"Beruntung ya jadi Adsila, kemarin diantar Aditya, sekarang dia diantar Joe. Hidupnya tidak jauh-jauh dari cowok tampan!"

"Coba gue yang jadi Adsila, sudah gue pacarin tuh dua-duanya. Kapan ya gue bisa deket sama artis?"

Sejatinya manusia memang seperti itu. Selalu berasumsi berdasarkan apa yang indra penglihatan mereka tangkap. Seperti halnya sebuah air, tak selamanya air yang tenang itu menyenangkan. Karena dibalik air yang tenang terdapat kedalaman yang sulit diperkirakan.

Coba saja manusia langsung melompat ke dalam air tenang tersebut, bisa saja ia langsung terlelap oleh air yang dikiranya aman. Itulah sebabnya mengapa ada pepatah yang mengatakan, jika rumput tetangga selalu terlihat lebih segar dan hijau daripada rumput sendiri di pekarangan.

Andai saja manusia lebih bisa mengandalkan logika daripada fakta dan perasaan, pasti tidak akan ada adegan di mana dirinya membandingkan hidupnya sendiri dengan kehidupan orang lain yang jauh lebih baik dari sisi yang KELIHATANnya saja.

Kuhentikan langkah saat mendengar teriakan seseorang menyerukan namaku. Kemudian mendongak saat mengetahui asal suara dari lantai dua sana. Dan benar saja, di sana Diyas tersenyum sambil menunjukkan sebuah LCD dalam rengkuhannya. Secara otomatis sudut bibirku tertarik ke atas, tersenyum senang ketika mengetahui Diyas telah berhasil meminjam LCD baru dari ruang tata usaha.

LCD milik kelas kami memang sedang bermasalah, jadi setiap ada siswa yang kebagian giliran untuk persentasi diharuskan untuk meminjam LCD lain dari ruang tata usaha. Kebetulan hari ini jadwalku untuk persentasi, jadi aku tidak perlu lagi repot-repot menggotong LCD yang lumayan berat itu dari ruang tata usaha di lantai dasar menuju kelasku di lantai tiga.

Tanpa berfikir dua kali, aku pun segera berlari menaiki tangga menghampiri Diyas yang menungguku dengan sebuah alat yang paling aku butuhkan di jam pertama ini. "Trims Diyas!" ucapku tulus.

Menyeringai, Diyas menyerahkan benda persegi lumayan berat itu ke tanganku. Refleks aku pun menolak. "Eitsss ... kata Bundaku kalau mau membantu orang itu jangan setangah-setengah. Sudah sampai di lantai dua kan? Tenang, satu lantai lagi sampai kok. Yuk, semangat!" ujarku mengepalkan tangan ke udara.

"Satu tangga itu punya banyak anak, Sila. Kalau dihitung sepertinya lebih dari dua puluh deh anaknya. Nih, gantian!"

Tersenyum jahil, kuambil langkah seribu meninggalkan Diyas yang memasang wajah minta dikasihani. Aku tau kalau sebenarnya dia masih kuat dan sanggup membawa ke lantai tiga. Dia hanya ingin menggodaku saja.

Tiba di pertengahan tangga. Kutengok lagi ke belakang dan mendapati Diyas menapak tangga dengan mudah meskipun kedua tangannya memegang LCD. Benar kan dugaanku? Berbalik, lantas aku meninggalkannya sambil bersenandung riang.

Maka nikmat tuhan manakah yang kau dustakan? Sudah tidak perlu berangkat pagi-pagi buta, eh sampai sekolah tinggal duduk manis saja dan memantapkan materi untuk persentasi. Ternyata terlalu banyak kebaikan yang Tuhan berikan, dibalik koar-koar siswa yang menjenukan tadi di lantai bawah.

My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang