Bagian 17. Berakhir

1 0 0
                                    

SAMAR-SAMAR aku mendengar dua orang berbicara. Bukan, lebih tepatnya bersitegang. Kadang terdengar helaan napas kasar, pekikan kesal hingga suara berdebam yang entah berasal dari apa. Kucoba tuk membuka mata, namun berat. Tubuhku serasa sakit, kepalaku juga seperti tertimpa benda berat. Ah ini pasti karena insiden itu. Otakku terpaksa memutar kembali cuplikan tragedi paling naas yang terjadi selama tujuh belas tahun hidupku. Dikeroyok oleh delapan orang sekaligus. Didorong, dijambak bahkan dicakar.

"Kalau gitu jauhi Adsila sekarang juga! Hubungan kalian hanya akan menyusahkan Sila."

Kini aku tau suara siapa itu. Suara seseorang yang telah menjadi temanku sejak kecil. Kuputuskan untuk tetap menutup mata, ingin tau lebih jelas pada siapa Joe berbicara. Mengapa dia meminta lawan bicaranya tuk menjauhiku.

"Kamu nggak bisa seenaknya memintaku buat menjauh dari Sila. Dia pacarku sedangkan kamu hanya orang asing diantara kami."

"Apa? orang asing kamu bilang? Aku sudah bersama Sila sejak kecil. Seharusnya kamu ngaca, kamu yang hanya orang baru dan bisanya cuma membawa jutaan masalah buat dia. Sebelum kamu hadir, dia nggak pernah sekacau ini. Seujung kuku pun aku nggak akan rela Sila digebukin sama fans fanatik kamu."

Jadi ... Joe sudah tahu tentang hubunganku dengan kak Adit. Sekarang aku harus bagaimana? Pasti Joe sangat kecewa padaku.

"Terus mau kamu apa " Kak Adit bertanya sengit.

"Kamu budek. Aku bilang JAUHI ADSILA SEKARANG JUGA!!!"

Kucoba membuka mata meskipun berat. Tak ingin mereka bersitegang lebih lama dan berakhir dengan adu jotos. "Joe ..." lirihku sambil berusaha bangun dari posisi tidur.

"Sila ... kamu udah sadar?" Joe menghampiriku dan membantuku bangkit. Kak Adit juga mendekatiku mengatur letak bantal di belakang punggung, sebagai penyangga badanku.

"Joe maaf ..."

"Sttttttt ... jangan banyak bicara dulu. Kamu gapapa? Mananya yang sakit?" Joe terlihat panik. Ia memeriksa tangan dan wajahku. "Kamu tercakar Sil." Imbuhnya ketika melihat goresan di tangan kanan dan kiriku.

Kutarik tanganku, kemudian berusaha tersenyum kecil. "Aku gapapa kok. Hanya cakaran kecil." Rasanya sebenarnya sedikit perih, namun lebih perih kenyataan yang aku terima.

"Sila aku ..."

"Kamu beneran budek ya, Aku..."

"Udah Joe." leraiku, kemudian menatap kak Adit. "Benar kata Joe kak. Tadinya aku ke sini ingin meminta penjelasan dari kakak, namun insiden tadi telah membuktikan semuanya. Sejak awal hubungan ini salah ..."sesalah perbuatanku yang telah melanggar janji pada ayah dan Joe.

"Sayang, bahkan kamu belum mendengarkan penjelasanku langsung."

"Stop kak, bahkan sebelum kakak perjelas juga semuanya sudah jelas. Aku capek kalau harus diteror gitu. Aku hanya ingin hidup tenang dan ngejalanin hidup normal. Udah itu aja."

"Kamu dengar kan Sila ngomong apa? Jadi tolong tinggalkan dia sendiri."

Kak Adit bergeming, ia memandangku dengan tatapan memohon. Anehnya tatapannya kali ini tak mampu lagi meluluhkanku. Perasaan gugup sekaligus salah tingkah jika berada di dekatnya kini juga hilang. Semudah inikah menghilangkan cinta? "Kak, kita putus ya?"

Tak ada respon dari kak Adit. Entah apa yang ia rasakan, tidak mungkin kan jika kak Adit merasa sedih. Bukankah aku hanya pelariannya dari Aura? Setidaknya itulah kesimpulan yang dapat kutangkap. Apa namanya jika bukan pelarian, mengingat pendekatan yang kami lalui sangatlah singkat dan kak Adit telah berani mengajakku pacaran.

My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang