Bagian 4. Awal Kedekatan

1 0 0
                                    

PAGI sekali aku terbangun dalam keadaan rumah yang senyap. Aku lupa jika hari ini tidak ada si kecil Rossele yang selalu membuat keributan di pagi hari. Adik kecilku itu memang sedang aktif-aktifnya. Dengan gayanya yang centil, ia selalu berceloteh tentang apa pun yang dialaminya pada bunda. Terkadang jika sudah kesal karena bunda menanggapi ceritanya dengan ogah-ogahan, Rossele mengadu pada Ayah dengan cebikan lucu pada bibir mungilnya.

Namun di mana-mana yang namanya pagi hari, pasti setiap orang akan disibukkan dengan aktifitasnya masing-masing, Ayah pun kerapkali tak menanggapi Rossele. Jika sudah begitu dengan fasih Rossele akan mengeluarkan jurus andalannya, yaitu menangis dengan sangat kencang.

Bayangkan betapa heboh rumah mungil ini dengan suara cempreng milik Rossele yang sedang menangis? Beruntung tetangga kompleks kami tidak ada yang komplain atas keributan kecil di keluarga kami.

"Sudah pulang rupanya. Aku pikir kamu akan menginap di rumah Joe." Suara serak itu berhasil membuyarkan lamunanku, Adrian masuk ke kamar dengan muka bantalnya dan masih mengenakan boxer lusuh yang selalu dipakainya untuk tidur. Aku menelengkan kepala melihatnya. Semalam ketika pulang Adrian memang sudah tidur. Tuh abang satu emang tidak pernah ada khawatir-khawatirnya pada adik kembarnya.

"Ya sudah, cepat mandi lalu siap-siap! Aku ada les pagi hari ini." perintahnya serupa gumaman karena dia berbicara sambil menguap lebar.

Kulirik jam di nakas. Astaufirullahh, bahkan ini masih jam setengah lima pagi dia udah menyuruhku untuk bersiap ke sekolah? "Memang mau berangkat jam berapa sih? Ini masih pagi banget loh!" decakku.

"Aku mulai les jam enam, belum masih nganterin kamu ke sekolah. Bisa telat aku kalau berangkat mepet-mepet jam." Setelah menjelaskan, Adrian langsung ke luar dari kamarku.

Kalau dipikir-pikir, ada benarnya juga omongannya. Kasian dia yang setiap hari harus muter-muter terlebih dahulu di jalanan, karena lokasi sekolah kami yang berlawanan arah. Ibarat kata sekolahku berada di ujung barat, nah sekolah Adrian di ujung timur sana.

Adrian memang super duper perfeksionis. Darah disiplin ayah mengalir kuat dalam tubuhnya. Cara dia me-manage waktu patut diacungi jempol. Dia tak hanya jago mata pelajaran eksak, berbagai bidang olahraga pun ia geluti. Bahkan hingga saat ini–menjalang ujian–Adrian masih bisa santai dengan sederet aktifitasnya, seperti bergabung dalam klub basket dan juga KIR (Karya Ilmiah Remaja). Tak mau berlama-lama aku pun segera bersiap diri, lumayan lah hari ini menjadi adik yang penurut.

Rambut rapi, chek!

Seragam, blezer, dasi dan sepatu hitam, check!

Setelah sekian menit berkutat di depan cermin dan merasa puas dengan penampilanku hari ini, kuraih tas dan memastikan tak ada satu pun buku atau alat tulis yang tertinggal. Lalu berjalan ke kamar sebelah, yaitu kamar Adrian. Namun setelah sampai di sana kudapati kamarnya kosong melompong. Ke mana dia?

Kemudian aku memutuskan untuk mencari di lantai bawah. Rupanya Adrian berada di bawah tangga, ia menunggu sambil bersedekap dada. "Yuk berangkat!" ajakku padanya. Bukannya mengikuti langkahku, ia malah bergeming di tempatnya. Kubalikkan badan dan memicingkan mata. Adrian menyodorkan kotak bekal bergambar doraemon milikku. "Buat sarapan nanti di sekolah," katanya lalu melenggang keluar.

Aku hanya mampu mengulum senyum. Rupanya secuek-cueknya kembaranku itu, masih terdapat secercah kasih sayang untukku. Aku pun tergesa-gesa menyusul Adrian yang telah menghilang tertelan pintu. "Ehh, tunggu-tunggu! Inikan masih jam lima seperempat, trus aku di sekolahnya nanti sama siapa dong? Sepagi ini mana ada orang?"

Asal kalian tahu, sekolahku itu masih terbilang sebagai sekolah bekas titisan kompeni. Gedungnya memang sudah di renovasi berkali-kali, namun tetap saja arsitektur khas Belanda itu masih belum dihilangkan sepenuhnya. Membayangkan saja membuatku bergidik ngeri.

My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang