Bagian 18. Dia yang Telah Pergi

1 0 0
                                    

"GAPAPA sayang, setiap orang kan bisa khilaf. Asal jangan sampai kebablasan aja!"

"Ayahhh ... "

"Manusia itu bukan malaikat yang luput dari salah, namun manusia bisa merubah kesalahan menjadi sebuah pembelajaran. Yaitu belajar untuk lebih berhati-hati, belajar untuk lebih baik lagi, belajar untuk lebih teliti dan belajar untuk lebih peduli."

"Ayah, melanggar sebuah kesepakatan itu kesalahan bukan?"

"Salah dong sayang. Bagaimana pun kesepakatan itu sama halnya dengan amanah dan amanah harus kita jaga. Ingat kalau manusia itu dipercaya karena amanah yang dipegangnya."

"Kalau orang terdekat ayah ada yang melanggar amanah dari ayah, apa ayah akan marah dan kecewa?"

"Kenapa bertanya seperti itu kak?"

"Ayah, jawab aja lagi, ayah marah nggak?"

"Ayah akan mencoba memaafkan, meskipun hati sempat menelan rasa kecewa. Ya kembali ke kesalahan tadi. lihat dulu apa motifnya. Kenapa bertanya seperti itu?"

"Nggak. Ayah, kakak janji ini akan menjadi yang pertama dan terakhir. Kakak nggak akan lupa ngerjakan PR lagi, ngelamun di kelas lagi dan berbuat onar."

"Kak, Janji itu harus ditepati, meskipun sekecil apapun itu. Jadi jangan mudah membuat janji jika kamu merasa tidak akan menyanggupinya."

"Jadi ayah nggak percaya sama kakak?"

"Ayah selalu percaya pada anak-anak ayah. Tadi itu nasihat dari seorang ayah untuk anaknya. Ah, hampir saja lupa, ayah ada jadwal seminar mendadak. Mungkin dua atau tiga hari lagi ayah baru pulang. Bilang bundamu ya?"

"Oke...."

"Mau oleh-oleh apa ?"

"Cukup ayah pulang. Itu aja!!!"

"Ya iyalah itu sudah pasti. Masa ayah nggak pulang ?!"

"Hahahah ... Siapa tahu mau jadi bang toyyib."

"Kamu ini kak, ayah serius juga. Kamu sekolah yang bener, kejar cita-cita dan yang terpenting jangan lupa bahagia."

"Siap boss !!!"

Siapa yang menyangka jika telepone itu merupakan percakapan terakhirku dengan ayah. Seharusnya waktu itu aku meminta ayah kembali dengan selamat, bukan justru pulang. Ayah memang pulang, namun bukan pulang ke tengah-tengah kami, keluarganya. Melainkan ayah kini berpulang ke peraduan-Nya.

Kudekap figura yang menampilkan foto ayah di dada, menahan sesak yang luar biasa rasanya. Betapa waktu berlalu sangat cepat, betapa tak tertebaknya kekuasaan Allah. Bahkan di detik terakhir ayah menghembuskan napas, aku belum bisa menjadi putri yang baik, parahnya justru melanggar aturannya. Betapa aku menyia-nyiakan waktu, kini semua tersisa penyesalan. Ayah, mengapa engkau cepat dipanggil-Nya?

Pintu kamarku terkuak, mas Andre masuk dengan pakaian serba hitam. Kantung hitam di bawah kelopak matanya terlihat sangat jelas. Ia duduk di bagian kasur yang kosong di sebelahku. Memeluk tubuhku dan menyandarkan dagunya di puncak kepalaku. "Berhenti menangis!"

Kudongakkan kepala, air mata yang sedari tadi menggenang, kini mengalir bersamaan dengan mas Andre yang semakin memelukku erat. Pandanganku buram, kurasakan kemeja mas Andre basah. "Pa - dahal ayah se-hat – sehat aja mas ..." ucapku tersendat –sendat.

My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang