Bagian 16. Amarah dan Curiga

1 0 0
                                    

"INI sudah yang kesekian kalinya saya mendengar keluhan dari beberapa guru tentang kamu Adsila. Apakah setelah ini kamu bisa menjamin saya tidak akan mendengar berita kemerosotan nilai kamu?" Aku hanya bisa menunduk dan mengatupkan bibir rapat-rapat mendengar teguran dari kepala sekolah.

"Kamu tahu Adsila, ekspektasi saya terhadap kamu itu sangat besar. Jadi tolong kurangi aktivitas main-main kamu itu. Jangan lagi buat saya kecewa terhadap kamu. " Sejenak kudengar Pak Kepala Sekolah menghela napas berat. "Apabila terus-menerus terjadi seperti ini, saya akan memikirkan ulang terhadap rekomendasi yang telah saya tawarkan padamu"

Terhenyak. Tiba-tiba saja aku merasa ruangan ini mengecil. Keempat sisi temboknya merengsek maju dan menghimpit tubuh. Kepalaku mendadak pening. "Ta-tapi pak, bukankah ... sa-ya telah memenuhi semua persyaratannya." Kucoba mengeluarkan suara meskipun tergagap.

Tertawa sumbang, pak kepsek mengeluarkan map berwarna kuning ke hadapanku. Detik itu juga hatiku mencelos. Tulang-tulangku serasa diloloskan secara paksa dari tubuh. Ngilu! Map kuning tersebut merupakan berkas yang telah kukumpulkan tempo hari. Seharusnya berkas itu telah dikirim, tapi kenapa?

"Berkas ini masih berada di tangan saya dan hanya saya yang memiliki wewenang untuk mengirimkannya atau tidak. Jadi Sila, semua ada di tangan kamu. Kalau kedepannya perilaku kamu semakin mengecewakan, saya akan mengopernya pada siswa lain yang lebih layak. Nama baik sekolah menjadi taruhan."

Kurasakan air mataku menggenang. Bayangan Ayah dan Bunda tersenyum padaku sirna perlahan. kutengadahkan kepala agar genangan di pelupuk mata ini tak jatuh. Kugelengkan kepala sekedar memberi penekanan pada hati. Aku harus kuat, ini bukanlah akhir dari segalanya. "Saya janji pak. Saya akan berubah, tidak akan melamun lagi di dalam kelas dan juga tidak akan melupakan PR. Tapi saya mohon pak beri saya kesempatan sekali lagi."

Pak kepala sekolah terlihat menimbang. Sekian detik aku hanya bisa menahan napas. Menanti dengan penuh kegelisahan.

"Baiklah,"

Bersamaan dengan suara itu, kuloloskan napas yang sedari tadi kuktahan. Ruangan yang kurasa mengecil tadi kembali seperti sedia kala. Kegelisahan berganti kelegaan yang luar biasa. "Terima kasih pak." Kuraih tangan pak kepala sekolah dan menciumnya.

"Saya belum selesai bicara Sila." Aku kembali menunduk, merutuki kebodohanku. "Belajar yang baik dan hilangkan kegemaran melamun itu."

"Sekali lagi terima kasih pak." ucapku lagi.

"Ya. Sekarang kamu boleh kembali ke kelas."

"Baik pak. "

***

"Kamu diapakan tadi sama pak kepsek?" Nana bertanya dengan mulut penuh bakmie, dengan cekatan Diyas menyikut lengan Nana.

"Jorok. Habisin dulu tuh di mulut! Nggak sadar tuh muncrat ke mana-mana." Diyas bersunggut, kemudian mengangkat tangan kanannya. "Bakmie dan jus mangganya satu lagi ya mbak!" teriaknya pada mbak Padmi penjaga kantin kantin.

"Daripada kamu, rakus. Belum juga habis tuh bakmi, malah pesen lagi." Nana membalas perkataan Diyas setelah berhasil menelan makanannya.

Diyas mendelik, hendak menoyor Nana, namun Nana berhasil berkilah. "Aku pesan buat Sila kali,"

"Aku nggak makan tauk." potongku lekas.

Diyas menghentikan aksi bertengkarnya dengan Nana, memfokuskan perhatiannya padaku. "Sila, istirahatnya kan masih tersisa sepuluh menit lagi. Sangat cukup buat kamu makan. Aku yang traktir deh!"

"Aku nggak lapar kok," tekanku.

"Kamu belum kapok ya dimarahi pak kepsek? Kalau nanti kamu nggak fokus ngikuti pelajaran karena lapar gimana?"

My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang