Bagian 8. Kehangatan Keluarga

1 0 0
                                    

SAMAR-SAMAR aku mendengar suara bunda berteriak, tetapi mana mungkin? Jelas-jelas bunda masih berada di luar kota. Kurapatkan tubuh pada guling yang aku peluk, aroma parfum burberry milik Adrian sungguh menenangkan. Sayup-sayup mataku yang hampir terbuka kembali lelah dan ingin terpejam. Belum juga sepenuhnya merasakan kenyamanan berada di alam mimpi, ada seseorang yang mengguncang-guncang tubuhku. Aku hanya mengerang, menarik kembali selimut yang sedikit melorot.

"Demi Allah, Kakakkkk... ini sudah jam setengah tujuh. Mau jam berapa kamu berangkat sekolah? Hehhhhh, bunda siram pakai air panas nih!!!"

Sontak aku terbangun mendengar teriakan sekaligus merasakan pukulan bunda yang mendarat di pantat. Mengucek–ngucek mata, aku menyesuaikan diri pada cahaya matahari yang merambat masuk pada kamar. Kulihat bunda tengah berkacak pinggang dengang Roselle yang menahan tawa di sampingnya. "Bunda, kakak ngantuk," lirihku serak. Semalam aku baru bisa memejamkan mata sekitar pukul tiga dini hari.

Ketika hendak aku merebahkan diri lagi pada kasur, dengan serta merta bunda menarik daun telingaku hingga membuatku terjaga sepenuhnya. "Ngantuk ... ngantukkk ... kamu nggak liat sudah jam setengah tujuh? Jangan-jangan kamu tadi nggak sholat subuh ya?" Bunda memulai ceramah paginya. "Ya Allah, Ayah... tengok nih anak gadis kamu! Malasnya Masyaallah!!!" decak bunda dengan rentetan kalimatnya. Sama sekali tak memberi kesempatanku untuk membela diri.

"Kamu tuh Kak, kebiasaan banget kalau dibangunin susah. Jangan-jangan selama bunda nggak ada gini ya kelakuan kamu?"

"Bunda..." rengekku menginterupsi. "Pertama, aku lagi halangan. Kedua, ini baru pertama kalinya kok. Kemarin-kemarin waktu nggak ada bunda, aku bangun pagi kok. Tanya aja Abang kalau nggak percaya," jelasku dengan cepat, agar tak dipotong lagi oleh bunda.

"Hallah! Kamu alasan aja. Abang kamu sudah berangkat dari tadi pagi jam setengah enam, bahkan masih sempat bikin sarapan sendiri. Ya Allah kak, kamu tuh cewek, seharusnya kamu dong yang ngelayanin abang kamu selagi bunda nggak ada, bukan malah malas–malasan gini. Masa Adrian yang cowok lebih luwes dari kamu?"

Aku lupa jika seorang ibu itu selalu benar. Mau menyangkal bagaimana pun, tetap saja aturannya ibu selalu benar. Kalau sudah seperti ini aku baru menyesal, harusnya aku nggak usah menyangkal saja sekalian. Biar bunda capek sendiri mengomelnya. Pagi–pagi telingaku sudah pengang rasanya.

"Kak, astaga. Buruan siap-siap ke sekolah! Malah bengong lagi," pekik bunda lagi.

Kulihat jam di nakas menunjukkan pukul setengah tujuh lewat dua menit. Diceramahin bunda selama dua menit serasa dua tahun lamanya. "Bunda, udah nanggung. Pasti telat sampai sekolahnya," ujarku hampir menangis.

Bunda yang hampir mencapai pintu kembali berbaik. "Lebih baik terlambat daripada tidak sekolah. Ayah sudah menunggu di bawah. Apa kamu nggak kasihan sama Ayah? Baru pulang kerja, belum selesai penatnya tapi masih rela mau mengantar kamu ke sekolah."

Kalimat terakhir bunda menohokku, secepat kilat aku beranjak dari kamar Adrian menuju kamarku untuk bersiap–siap ke sekolah.

***

"Jangan diulangi lagi ya nak, masih banyak di luar sana yang tidak seberuntung kamu." Nada suara bunda melembut. Sambil menyerahkan kotak bekal ia mengusap puncak kepalaku. "Buat sarapan di mobil, sana ayah udah nunggu!" nasihat bunda ketika aku hendak menyalaminya.

"Maafin kakak, ya bunda ...." cicitku lalu meraih tangan bunda, menyalaminya. Bunda mengangguk kemudian membalas dengan mencium keningku hangat.

Di dalam mobil hanya terdengar lantunan lagu kisah-kasih di sekolah milik almarhum crhisye dari audio mobil milik ayah. Beliau memang sangat mengidolakan sosok penyanyi legendaris indonesia itu. Semua koleksi lagu-lagunya hampir semua milik chrisye.

My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang