Bagian 14. Hukuman

1 0 0
                                    

AKU lebih suka jika ayah memaki daripada memendam kekecewaannya seperti ini. Selama tujuh belas tahun hidup, aku mengenal ayah sebagai sosok yang sangat disiplin dan menjunjung tinggi nilai pendidikan. Entah apa yang membuat ayah tak marah atas laporan pak Ikwan tentang kelakuanku hari ini. Tak hanya membuat suasana kelas menjadi kacau, aku juga lupa mengerjaskan PR. Mungkin bagi siswa lain lupa mengerjakan PR itu lumrah, tapi bagiku hal itu sungguh sangat memalukan.

"Sil sejak dari kantin tadi kamu bengong terus," Diyas menyenggol bahuku. "cerita padaku! Ada apa?" tanyanya dengan intonasi suara sangat rendah, cenderung bisik-bisik.

Aku berdecak, menoleh ke muka kelas, melihat B. Tanti yang sedang membenarkan letak kacamatanya yang melorot. "Ssttt... ntar ketahuan." gumamku tak kalah berbisik. Jika pak Ikwan terkenal killer, b. Tanti ini terkenal bengis. Tak berkeprisiswaan. Kedengaran ngobrol sedikit saja langsung di depak ke luar kelas. Pelajaran kesenian yang seharusnya disambut suka cita oleh anak-anak berubah horror jika b. Tanti yang mengajar. Lihat saja suasana sekitar, sunyi nan kidmat. Mereka sibuk menghafalkan lagu daerah di dalam hati masing-masing. Mulutnya komat-kamit tanpa suara.

"Ya habis kamu bengong terus sih. Nggak kesambet jin kantin kan kamu?"

Kusikut balik lengannya. Mengkode agar tak lagi membuka suara. B. Tanti ini dianugrahi pendengaran serupa kelelawar. Suara cicak bernapas saja mngkin kedengaran olehnya, apalagi suara orang berbisik.

Seakan tak pernah kehabisan akal, Diyas menulis sesuatu di buku catatannya, kemudian menyodorkan padaku. Naas melanda, sebelum sampai di tanganku, buku catatan Diyas dirampas terlebih dahulu oleh b. Tanti. Kututup wajah dengan LKS, segera beristifar dalam hati. Oh ya, sedikit tambahan informasi, selain pendengarannya tajam, B. Tanti juga selincah kancil. Entah bagaimana caranya beliau tiba di bangkuku, padahal barusan masih setia dengan buku yang dibacanya.

"Akan lebih sopan, jika kamu membacakannya di depan kelas. Ayo Diyas, sebagai ketua kelas yang baik kamu tidak boleh pilih kasih pada anggotamu. Jangan hanya Sila yang dikasih tau, satu kelas juga." Nada itu lebih tepat disebut sindiran daripada perintah.

Diyas gelagapan, membuka dan mengatupkan mulutnya bergantian. Yang lain hanya memandang prihatin, sebagian malah ada yang mencibir. Jika mata bisa berbicara, pasti akan keluar kata "Syukurin" dari siswa yang tak suka pada Diyas.

"SEKARANG!?"

Dengan langkah gontai, Diyas menuju muka kelas membawa buku yang belum sempat aku baca. Dari sini aku tak dapat melakukan pembelaan apa-apa. Terlebih b. Tanti masih setia berdiri disamping bangkuku berkacak pinggang.

"Sepertinya akan lebih seru jika sang pangeran didampingi oleh tuan putri ya?!"

Mungkin hari ini memang record terburukku di Persada. Sejak tadi pagi ada saja hal yang membuatku terlihat buruk di depan guru.

"Adsila, tunggu apa lagi. Silahkan dampingi pangeranmu!!!"

Tetttttttt ... teeeettttttttttttttttt ... teeeeeeetttttttttttttttttttttttttttttt

Beruntung suara bel terdengar sebelum hukuman dilaksanakan. Kulihat b. Tanti menghela napas. "Kita bertemu minggu depan. Untuk Diyas dan Adsila, jangan senang dulu kalian. Hukuman tetaplah hukuman. Besok ibu tunggu tulisan permintamaafan kalian dalam dua lembar folio penuh."

Tak apalah tangan gempor kebanyakan nulis, daripada disuruh aneh-aneh di depan kelas.

***

"Sila kamu tidak bisa lari begitu aja, setelah apa yang kita alami barusan..."

"Setelah apa yang kita alami barusan kata kamu? Kamu masih saja belagak bego ya? Gara-gara ke kepoan kamu tuh, aku jadi kena masalah tau nggak." Potongku sinis. Suasana kelas telah sepi, b. Tanti dan penghuni kelas XII IPA 1 lainnya telah melenggang cantik keluar. Tersisa aku dan Diyas yang tengah bersitegang. "Please, kita baru saja baikan. Jangan bikin aku benci lagi sama kamu."

My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang