Bagian 2. Janji Kami

1 0 0
                                    

ANDAI aku manusia yang suka mengabaikan etika, sudah pasti aku menggetok kepala Adrian tanpa peduli jika ia abang kembarku. Melalui kaca spion dapat kulihat raut wajahnya yang masam sekaligus pahit banget. Seharusnya aku di sini yang bersikap demikian, mengingat aku yang harus menunggunya selama satu jam di depan gerbang! Dia yang terlambat menjemput, dia juga yang marah.

Refleks kedua tanganku mencengkram kuat perutnya tatkala Adrian semakin melajukan motornya dengan kencang. "Kalau mau bunuh diri sendiri aja, jangan ajak anak orang sembarangan." Adrian sama sekali tak mengindahkan keluhanku. Alhasil aku hanya mampu bersungut-sungut di balik punggungnya yang tegap dan keras.

"Ya Allah. Bundaaa ... " pekikku tepat ketika Adrian mengerem motornya mendadak. Keningku berdenyut tatkala helm yang kukenakan membentur helm yang dikenakan Adrian. Aku memindai keadaan sekitar dan refleks turun dari motor Adrian tatkala menyadari jika kami telah berada di depan pintu gerbang rumah.

Bersamaan dengan kaki mungilku yang menginjak aspal jalan, Adrian kemudian mengeluarkan suaranya. "Bilangkan ke bunda, aku ada latihan basket." Kemudian tanpa aba-aba menggas kembali motornya, meninggalkanku yang masih melongo di depan gerbang. Ahh, dia memang seperti itu. Tidak pernah bersikap manis terhadap saudara kembarnya sendiri.

"Baru pulang kak?"

Aku menoleh ke asal suara. Senyumku mengembang melihat mama yang berada di samping mobil hitam keluaran terbaru itu. Kuhampiri kemudian meraih punggung tangan beliau dan menciumnya. "Mau ke mana, Ma?" tanyaku sambil melihat tangan kiri mama yang menenteng tas hitam besar.

Mama tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang tersusun rapi. Seperti biasa, wajah mama terlihat sangat segar dan cantik. "Mau mengantar barang-barangnya Joe. Tadi tetepon mama, katanya syutingnya lagi kejar tayang. Ada-ada saja si Joe tuh Sil, baru syuting perdana aja lagaknya sudah kayak artis tenar saja." Mama terkekeh sambil geleng-geleng kepala.

"Wajar saja sih Ma, Joe kan pemeran utama." Yah, sepertinya aku tak akan melihat Joe dalam waktu dekat ini. "Mama berangkat dulu ya Sil, kamu cepat masuk! Matahari semakin terik." Aku mengangguk. Mama segera masuk mobil dan mengemudikannya sendiri.

Aku menghela napas. Sepertinya aku juga harus terbiasa melakukan segala sesuatunya sendiri, seperti yang mama lakukan tadi. Karena sekarang aku sudah tidak bisa lagi mengandalkan Joe, apalagi Adrian yang tingkat kepeduliannya sangat rendah terhadapku.

***

Sentuhan tangan dingin di pipi membuat tidurku sedikit terganggu. Mengerang kesal, kubalikkan badan memunggungi seseorang yang mencoba membangunkanku. Hingga suara kekehan yang sangat kukenali itu berhasil membuatku terbangun dengan sempurna. "Joe?" Aku mengerjap-ngerjap. Kedua tanganku terangkat, menutup kuapan panjang yang membuat ujung mataku berair. "Kok kamu ada di sini?"

Belum sempat Joe menjawab, perutku dengan tidak sopannya mengeluarkan bunyi keroncongan. Uppsss, aku lupa jika belum makan siang. Kutengok jam di nakas, rupanya sudah pukul setengah enam sore. Tadi memang selepas sholat ashar aku memutuskan langsung naik ke kasur, badan terasa pegal semua. Niatnya mau tidur setengah jam doang, eh malah kebablasan. Tarikan kuat pada tangan membuatku terperanjat kaget.

"Kebiasaan suka menunda makan! Maagnya kambuh baru tau rasa!" Joe memang tak pernah banyak omong jika sudah kesal. Tanpa peduli tanganku yang mulai memerah, ia langsung membawaku ke meja makan. Dengan cekatan mengambilkanku nasi beserta lauk dan sayur mayur.

"Jangan banyak-banyak!" teriakku protes pada saat melihat nasi dengan porsi besar. Mirip makanan kuli, tetapi Joe mana mau peduli, kini ia meletakkan sepiring nasi penuh itu di hadapanku.

"Dia nggak makan siang, Bun?" Joe bertanya pada bunda yang kebetulan lewat.

"Tadi Bunda sudah bangunkan. Memang dasarnya kebo, jadi susah bangunnya." Bunda malah menjawab nyinyir. Benar-benar sukses menghancurkan kredibiitasku secara telak.

My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang