55. Tentang Kepercayaan

3.9K 447 530
                                    

Chenle terdiam di depan jendela kamar melihat Jisung yang di ikat di atas brankar dalam posisi berbaring. Jisung terus melamun menatap keluar jendela dengan mata yang basah. Air mata yang terlihat menggambarkan betapa putus asa nya seorang Park Jisung.

"Le," tegur Jeno menepuk bahu Chenle. "Jangan melamun," ujar nya yang ikut menatap Jisung dengan tatapan miris.

"Jisung gak gila kan, Mas?" Tanya Chenle dengan nada bergetar. "Adek aku gak gila, kan?"

Jeno menggeleng kuat, menghadapkan wajah Chenle untuk menatap nya. "Jisung butuh waktu untuk nyembuhin mental nya, Le. Dia gak gila sama sekali," ujar Jeno tersenyum meyakinkan.

Chenle menghapus pelan air mata nya dan kembali menatap Jisung yang terus bergumam kata...

"Kakak..."

"Kak Nana..."

Dua kata itu yang selalu keluar dari mulut Jisung. Dengan lelehan air mata yang terus keluar tanpa Jisung pinta, menggambarkan betapa rusak nya hati dan pikiran Jisung.

"Udah seminggu, Mas." Lirih Chenle menundukkan kepala. "Udah seminggu Kakak dan Jisung sama-sama sakit."

Seminggu berlalu semenjak kejadian menyakitkan tersebut. Bukan hanya Jaemin saja yang sakit, Jisung juga ikut sakit. Ia terus berteriak, menangis lalu tertawa sambil menyebut nama Jaemin.  Tak jarang, ia memukul kepala dan dada nya karena terasa sesak.

Mental Jisung terganggu.

Mark memutuskan untuk memanggil Tante Yoona ke Tokyo untuk mengurus masalah kesehatan mental Jisung. Tante Yoona mengatakan bahwa Jisung mengalami trauma terhadap lingkungan sekitar yang membuat ia terus teringat akan Jaemin.

Keputusan Tante Yoona adalah dengan mengisolasi Jisung seorang diri di ruang rawat sampai kondisi mental nya membaik. Selama beberapa waktu, Jisung hanya sendirian terikat di brankar.

"Aku kangen Jisung," lirih Chenle sedih.

Selama seminggu juga, induk-induk ragunan tidak bertemu dengan si bungsu ragunan. Mereka hanya bisa melihat dari luar jendela besar yang memperlihatkan kondisi Jisung.

"Kita harus sabar, Le," gumam Jeno merangkul bahu Chenle. "Semuanya akan kembali ke tempat semula. Kita akan baik-baik aja," lanjut nya yakin.

"Gimana kalau Kak Na..."

"Le," sela Jeno cepat. "Nana bakal kembali. Gak ada yang boleh pergi, Chenle. Sekalipun itu Haechan yang kelakuan nya rada bajingan, gak ada yang boleh pergi dari kita ber-7," ujar Jeno dengan nada tegas.

Tatapan Jeno semakin melembut, menatap Chenle dengan penuh kasih sayang. "Kita semua takut, Le. Gapapa, gue juga takut tapi, jangan sampai ketakutan itu membuat kita terus berpikir negatif, Le."

"Mas gak paham," lirih Chenle dengan nada bergetar. "Mas gak paham Kak Nana udah sejatuh apa."

Jeno mengulum bibir, menahan kuat tangisan yang ingin keluar. "Gue paham, Le. Gue paham," rintih Jeno. "Setidaknya, kita punya keyakinan untuk Nana yang masih mau kembali ke kita. Tuhan akan mendengarkan selama kita masih punya rasa percaya."

Chenle menutup wajah nya. Menyembunyikan air mata yang terus-terus mengalir di balik telapak tangan nya. Membiarkan Jeno menarik nya ke dalam pelukan yang terkesan melindungi.

"Nana bakal balik, Chenle. Pasti." Tegas Jeno menimang-nimang Chenle dalam pelukan.

Ketika Jeno melirik ke dalam ruang rawat, Jisung tengah menatap mereka dengan tatapan yang sama hancur nya. Tidak ada yang hancur sama sekali.

Gue mau peluk lo, Ji. Tapi gue tahu, pelukan nya akan terasa berbeda dari Nana batin Jeno sesak.

Benar. Tidak ada yang bisa mengalahkan hangat dan tulus nya pelukan Na Jaemin.

[i] 7D² (Dream & Death) || NCT DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang