CALL-6 | SLATE 30, SCENE 6, SHOT 5, TAKE 12 (BAGIAN 1)

7.2K 805 40
                                    

Sebagai perwujudan dari ucapan Jan Lakis pada istrinya tempo hari, setiap hari pria itu mulai meninggalkan kondominiumnya lebih pagi sebelum eksistensi Samira Noa terlihat di dapur.

Sehingga, setiap pagi itu pula Jan Lakis sering sekali melewatkan sarapannya. Namun, itu adalah take 1 untuk mewujudkan inti dari seluruh scene utama yang Jan Lakis lakukan untuk mengindari Samira Noa sebagai komitmennya untuk kukuh mengikuti poin-poin yang telah ia buat sendiri di dalam kontrak.

Salah satu isi kontrak itu adalah tidak mencampuri urusan masing-masing dan bersikap seolah mereka tidak ada satu sama lain ketika tidak di hadapan siapa pun.

Katakanlah hati Jan Lakis sekeras batu. Itu memang kenyataannya. Dia sangat menolak kehadiran wanita itu di sisi hidupnya karena Jan Lakis telah menyadari hal-hal apa saja yang menjadi alasan logis mengapa ia begitu menolak Samira, meski ucapan wanita itu akan 'usaha mempertahankan pernikahan' terdengar begitu tulus.

Selain karena dia baru saja memulai hubungan dengan wanita lain sebelum perjodohan ini terjadi dan dirinya yang amat kesulitan dalam memahami cinta, Jan Lakis juga menyadari hal lainnya; kemampuan dirinya.

Meskipun hampir seluruh Saudjaja menikah karena perjodohan-kecuali mereka yang nekat menghapus nama Saudjaja-Jan Lakis sempat berpikir setidaknya setelah ia menuruti segala titah sang papa di sepanjang hidupnya, untuk yang satu itu dia bisa menolaknya. Namun ternyata, tidak sama sekali.

Jan Lakis masih tidak bisa mengontrol segala hal mengenai dirinya, meski itu sudah termasuk ranah pribadi yang memang sudah seharusnya ditentukan oleh Jan Lakis sendiri. Ia bagaikan anak kecil yang harus diatur sedemikian rupa dengan dalih 'kebaikan untuk dirinya'. Padahal, kekangan Yan Jati terhadap Jan Lakis hanyalah upaya untuk memenuhi nafsu pria tua itu untuk segala kepentingan bisnisnya.

Ketidakmampuan Jan Lakis dalam membatalkan perjodohan tersebut menjadi pukulan besar yang menyadarkan pria itu bahwa mungkin sampai ia mati sekalipun, tampaknya Jan Lakis tidak akan pernah mampu menjalani kehidupan sebagaimana keinginannya sendiri. Kekangan tali itu terlalu kuat untuk diputuskan.

Terasa seperti mimpi buruk yang melemparkan dirinya pada sebuah gurun berangin panas dan kasar, sulit sekali Jan Lakis mencari kesejukan atas cinta yang mereka bilang akan tumbuh dengan sendirinya meski dirinya menikah didasari perjodohan tanpa mengenal satu sama lain.

Terlalu banyak alasan masuk akal mengapa Jan Lakis menolak perjodohan ini, mengapa pula dirinya kesulitan mengerti makna cinta. Sebagai seorang pria yang seluruh hidupnya berada dalam kendali sang papa, sulit bagi Jan Lakis memberanikan dirinya melompat pada suatu hal yang di luar kendalinya meski ia telah berdiri di ujung batas muak yang telah begitu tebal.

"Jadi, lo bakalan tetap jalani kontrak itu seorang diri?" tanya Haar yang baru saja datang memasuki ruangan Jan Lakis.

Siang ini, lelaki itu datang ke agensi di mana Jan Lakis selama ini bernaung di samping urusan perihal bisnis keluarganya. Sementara itu, Jan Lakis yang masih disibukkan membaca beberapa naskah series romansa yang berusaha meminang dirinya hanya mampu mengangguk dengan mata terus membaca deretan tulisan kertas yang berada di tangannya.

Suara decakan sebal Haar terdengar. Itu membuat Jan Lakis mendengus dan terkekeh kecil, sudah terbayangkan bagaimana raut temannya yang satu itu setelah melihat reaksinya barusan.

"Emang lo pikir bisa begitu?" Haar menaruh beberapa box kotak makan di atas meja. Dia merapikannya seraya terus mencerocos. "Kontrak kan artinya ada dua pihak yang menjalani dan menyetujuinya. Kalau dia sudah menolak, gimana bisa jalan itu kontraknya?"

"Kontrak gak bisa jalan. Gak punya kaki."

"Dih, lucu lo, Bapak-bapak!"

Jan Lakis melirik tajam pada kawannya itu yang dibalas pelototan menantang penuh sikap tengil khas Haar. "Apa lo? Apa?!" Lelaki itu sewot.

CALL ME YOUR WIFE, LAKIS! ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang