Saka tidak pernah bertanya kepada ibunya ketika matahari memeluk senja mengapa ia diminta untuk bergegas pulang ke rumahnya. Suara persiapan adzan pun terdengar dikejauhan, menandakan waktu magrib akan segera tiba.
Tidak hanya dirinya, bahkan anak-anak yang lain pun merasakan hal yang sama, ibu mereka selalu memperingatkan untuk pulang sebelum adzan magrib berkumandang, dan persiapan untuk tidur.
Tapi mengapa harus seperti itu? Kenapa harus pulang sebelum magrib? Itulah yang selalu terngiang dalam kepala Saka setiap kali waktu senja menyapa.
“Ibu.” Panggilnya, sambil menghampiri ibunya yang sedang menjahit seragam sekolahnya yang lengannya hampir lepas.
“Ada apa?!” Masih fokus pada pekerjaannya, ibunya hanya menyaut demikian.
“Kenapa kita harus pulang sebelum Maghrib?” Ibunya menoleh menatap ke arahnya.
“Mengapa kau bertanya seperti itu? Saat Maghrib memang tidak boleh berada di mana-mana. Harus di rumah saja!”
“Memangnya ada apa, Bu, dengan waktu Maghrib?”
“Pokoknya kau tidak boleh pulang sepulang Maghrib. Itu berbahaya bagi dirimu. Ingatkah kau ketika dirimu hilang tiga hari tiga malam karena Wewe Gombel menculikmu?!”
Saka tidak ingat. Terlalu kecil untuk dirinya bila mengingat kejadian itu saat umurnya delapan bulan. Namun Saka masih tak mengerti, apa bedanya pulang sehabis Maghrib dan sebelum Maghrib. Apa waktu Maghrib semengerikan itu?
Bahkan bapaknya pulang dari ladang pun waktu sehabis isya’.Jadi akankah lebih baik pulang sehabis adzan Maghrib
Kendati rasa penasarannya tetap mendekap bersamanya seperti burung hantu yang bertengger di atas ranting pohon, Saka menikmati kesehariannya dengan pulang sebelum magrib.
Waktunya sehabis pulang sekolah selalu ia habiskan untuk bermain bersama anak-anak kompleks seusianya.
“Apakah kalian pernah pulang sehabis Maghrib?” Pertanyaan Saka melayang begitu saja di tengah teman-temannya. Ada yang bernama Danang, Rahmat, Aldi, dan Toha.
Danang Memiliki tubuh yang agak gemuk, gempal dan tinggi, Aldi bocah dengan tubuh kurus, sering dipanggil ranting kertas karena sangking kurusnya tak berdaging, Toha anaknya Pak kepala desa, memiliki tubuh cenderung seperti anak SMP dibandingkan seperti usia asalnya, Rahmat anak orang kaya di desanya, selalu pulang lebih dulu di antara kelompok bermain mereka. Sementara Saka, Saka anak seorang petani yang memiliki kulit putih seperti orang Belanda, wajahnya tak begitu mirip dengan bapaknya.
Mereka tinggal bertetangga hanya jarak satu rumah. Sehabis bermain mereka selalu membawa beberapa cemilan dari rumah masing-masing dan memakannya bersama di bawah naungan pohon apel yang rindang.Hari telah menunjukkan pukul dua belas siang, terik matahari tak sepanas biasanya. Keempat teman Saka mencuri pandang, saling mengalihkan pandangan satu sama lain.
Aldi : “Aku belum pernah pulang sepulang Maghrib. Tapi pernah pulang habis isya’ waktu sedang bersama bapak.”
Danang : “Tidak pernah.”
Aldi : “Aku tidak suka pulang sehabis Maghrib, ibu melarangku untuk pulang saat Maghrib!”
Toha : “Bagaimana caranya pulang sehabis Maghrib?! Apa kau tahu?!!”
Rahmat : “Aku tidak boleh keluar rumah terlalu lama oleh ibuku. Habis ashar aku harus pulang.”
Saka : “Ada apa dengan jawaban kalian?! Apa kalian tidak tahu maksudku?!
Aldi : “Memangnya ada apa, Saka? Tak biasanya kau bertanya seperti itu?!”
Saka : “Aku sebenarnya bosan dengan ibu yang datang setiap kali menjelang sore. Selalu memintaku untuk pulang.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Cerpen Fantasi : Cinta Yang Terbagi
Short StoryCerita fantasi yang tak begitu panjang juga tak begitu rumit namun menghadirkan misteri yang tak akan pernah usai Kumpulan Cerpen Fantasi 1. Berbagai genre 2. Nama tokoh yang sama tidak mempengaruhi cerita 3. Sad ending semi happy ending Saran, k...