Bekas

58 1 0
                                    

Aku telah membunuh ayahku, di tengah kegelapan sebuah ruangan tertutup. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi malam itu, yang aku tahu hanyalah segenggam pisau di tanganku sementara bisikan menggoda mencoba membujukku untuk melakukan hal yang tidak wajar. Saat itu aku masih berumur tujuh belas tahun, menjadi beban keluarga setiap waktu, hanya dirikulah yang katanya lebih dicinta dari pada saudaraku yang lain. Tapi itu salah.


Aku punya alasan untuk membunuh Ayahku, aku punya tujuan tersendiri saat mencobanya, aku punya keyakinan tersendiri saat aku benar-benar melakukannya. Tangan dengan warna pekat, basah dengan bau amisnya yang mengundang rasa curiga. Aku bergetar bersama genggamanku sendiri, ketakutan yang mencoba merenggut nyawaku. Mengejarku dengan perasaan bersalah namun dalam sisi lain aku lega setelah melakukannya. Merasakan kepuasan tersendiri bagiku.


Kasih sayang yang aku terima dari mereka yang aku cinta hanyalah sebatas kertas lusuh. Meninggalkan kepalsuan yang hanya bisa dirasakan dengan membuang ludah.


Mayat pria itu masih tergeletak kaku di bawah ranjangnya, dengan darah tercecer di mana-mana,sementara aku masih menggenggam pisau yang masih melekat pada tanganku yang basah karena cairan merah. Kesunyian membisukan segalanya, tidak hanya di dalam ruangan itu, namun juga membisukan hatiku saat ini. Tidak ada penyesalan yang menangisi sebuah kejadian pahit yang telah lalu, seolah rencanaku telah terlaksana dengan baik. Seperti seorang anak iblis dalam genggaman tangan malaikat penjaga neraka, aku pergi meninggalkan ruangan itu, tak peduli Tuhan kan menyaksikannya dengan pandangan marah ataupun murka, langkahku tetap tak bisa goyah, aku tak peduli. Aku tak takut Tuhan kan menghukumku.


Setiap langkah ku berusaha untuk berlari, berlari dari kejaran orang-orang yang sedang mengincar pelaku percobaan pembunuhan keluarga. Setelah aku menghilang bersama pelarianku yang tak jelas, sederetan polisi ibukota mulai mengerubungi rumahku, aku tak meninggalkan jejak, hanya menyisakan pisau yang aku gunakan untuk melenyapkan lelaki itu.


Aku yakin polisi bakal mencariku saat ini, dengan bukti pisau yang dipakai untuk melakukan pembunuhan. Masih ada darah yang melekat pada pisau dapur itu. Sementara aku berlari mencari tempat tersembunyi yang jauh dari kota, tentu juga jauh dari penciuman para polisi itu. Sepanjang jalan sunyi nan dingin aku berlari secepat aku melangkah, tak lama setelah itu aku mulai menghempaskan tubuhku di atas ranjang bekas yang terletak di dekat danau samping jalan tersebut.


Aku menghela napas panjang, menghembuskan napas beberapa kali, hendak membuang kelu kesah dan ketakutan yang mencoba memasukkanku ke dalam penjara berbelunggu. Kubiarkan terik panas matahari siang ini menampar wajahku, membiarkannya membakar kulitku yang berlumuran darah.


Dalam ruangan tertutup di tengah hutan belantara, kutumpahkan setengah botol yang berisi air ke arah tanganku yang basah karena darah. Kubasuhkan tanganku ke dadaku, berharap bekas pembunuhan yang masih melekat padaku bisa hilang secepat mungkin sebelum para polisi itu menemukanku.


Aku masih berdiam diri di dalam sana, memikirkan bagaimana caranya aku bisa kabur dari sini. Keluar dari kota dan menghilang bersama jejak tak terlihat. Namun aku masih memikirkan keluargaku, aku masih memikirkan kakak perempuanku, aku masih memikirkan abangku yang seharusnya masuk ke Universitas ternama di ibukota. Harus merelakan impiannya demi memenuhi keinginan seorang Ayah.


Ayah tak pernah memperbolehkan kakak-kakakku melanjutkan di perguruan tinggi, alasannya selalu terdengar tidak jelas-atau memang aku yang selalu mendengarnya dengan telinga buntu-bukan masalah memang bila lelaki paruh baya itu tidak memperbolehkan kakak-kakakku untuk kuliah, tapi Ayah selalu memukuli kakak-kakakku. Apalagi dengan kakak perempuanku.


Setiap hari aku menyaksikan perlakuan itu selalu, hingga membuatku terusik sendiri. Membuatku sangat marah dengan lelaki itu. Di hadapan kakak aku tak melakukan apa-apa. Hanya meringkuk bersama kedua tangan mendekap kepala, kucoba untuk menghentikan perlakuan kasar ayah terhadap kakak perempuanku. Dengan sekuat tenagaku, namun aku tak bisa. Aku tak bisa menyelamatkan kakak perempuanku, aku terlalu takut dengan lelaki berumur tiga puluh Sembilan tahun itu.

Antologi Cerpen Fantasi : Cinta Yang Terbagi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang