Semua mata anak manusia di kelas perbankan semester tiga telah tertuju kepada Dian yang sedang berada tepat di depan mata Pak Rizky. Dosen muda berkacamata itu menatap Dian dengan kedua mata seakan keluar dari tempatnya. Spontan jemari kiri Rizky yang menggigil meraih pundak kanan gadis itu, hampir mencengkeramnya seolah telah menemukan orang yang selama ini ia cari.
Sesuatu yang hangat mulai merembes dari balik kemeja grey miliknya yang terlihat basah. Warna itu begitu pekat, lebih pekat dibandingkan warna merah. Membuat mahasiswi di dalam kelas itu menjerit histeris, mereka mulai berpindah posisi dari tempat mereka berpijak, mulai jaga jarak, khawatir mereka akan menjadi korban selanjutnya.
Tubuh Rizky semakin menunduk, jemarinya masih bersandar di atas pundak Dian, dan entah mengapa Dian tetap setegap tekadnya yang berani menikam dosennya sendiri. Cengkraman tangannya tak berarti apa-apa.
Belum sampai disitu, setelah mengenai sebilah pisau ke arah perut Rizky, kini Dian melepasnya kembali. Sontak suara Rizky terhenyak, menahan sesuatu yang mulai keluar dari dalam tubuhnya dengan paksa, kemudian Dian menusuknya kembali, dan kali ini lebih dalam lagi dibandingkan tusukan yang pertama, masih di bagian yang tak jauh berbeda dengan luka yang sama. Semakin membuat luka itu melebar dan mencurahkan isinya. Merembes membasahi pinggang hingga kaki pria berkacamata itu. Kini suaranya parau, tak begitu terdengar kecuali bisikan yang terus memanggil nama Dian untuk berhenti mempercepat ritme tusukannya.
Kejadian itu terpampang jelas di mata seluruh mahasiswa yang ada di kelas perbankan semester tiga itu, mahasiswa yang lain tercengang karenanya, sementara mahasiswi yang ada hanya bisa menjerit. Jeritan mereka menandakan ketakutan yang semakin meningkat ketika melihat Dian. Gadis yang mereka kenal tak seperti apa yang mereka pandang setiap harinya.
Hari Rabu ini terasa mencekam dibandingkan hari-hari selain dirinya. Ketua Kelas berpenampilan nerd, Yogik Irawan, mencoba menenangkan situasi, namun yang hanya bisa ia lakukan hanyalah meminta seluruh teman-temannya keluar dari kelas saat itu juga. Hingga hanya tersisa Pak Rizky dan Dian di dalamnya. Darah yang berceceran menjadikan mahasiswa yang ada di sana mengalami sedikit traumatik. Darah yang tak pernah mereka lihat di dunia nyata kini terpampang jelas di depan mata mereka.
Rizky hampir tak percaya dengan apa yang baru saja Dian lakukan, dari awal hingga saat ini nyawanya melayang hanya tergantung pada pisau yang dipegang Dian. Tak ada do’a atau harapan untuk bertahan hidup hingga beberapa detik kedepannya, seakan semua ini hanya tergantung kepada Dian.
Kembali dirinya memandang kedua mata Dian yang tanpa keraguan itu dari balik kacamatanya. Seribu pertanyaan mulai berhamburan hendak diungkapkan dari bibirnya. Namun semua itu terlalu membebani pikirannya hingga hanya satu yang bisa ia katakan.
“Dian...” Suara Rizky terdengar serak, meskipun satu nama itu yang bisa ia sebutkan, hal tersebut begitu berat baginya untuk dilakukan. Darah yang keluar dari luka di perutnya semakin menjalar membasahi lantai. Dan Rizky mulai kehilangan kesadarannya. Dan juga kesadaran itu akan tetap menyertainya jika Dian tetap ada bersamanya.
“Dian...” Sekali lagi kalimat yang sama hanya bisa ia sebutkan, tatapan Dian tetap sama. Seolah “Dian” bukan lagi namanya.
Beberapa saat kemudian alunan suara ambulans mulai datang, tepat di depan kelas perbankan semester tiga. Juga ada beberapa dosen, kaprodi, dan dekan yang mulai mengamankan Dian. Tusukan ketiga adalah tusukan terakhir seiring mereka mulai memblokir kedua tangannya. Seperti sedang diborgol. Sementara tubuh Rizky yang hampir tak bernyawa itu mulai dilarikan ke rumah sakit.
Kejadian itu berlalu begitu saja, di depan mata banyak mahasiswa, dan di mata Dian sendiri. Entah apa yang ada dalam pikirannya sehingga ia berani melakukan hal itu yang bahkan di dalam situasi saat Rizky menampilkan bab mata kuliah selanjutnya.
Itulah yang Dian ungkapkan ketika dirinya mulai dibawa ke kantor polisi untuk di interogasi.
Semua itu berada di luar dugaan mahasiswa yang ada di dalam kelas sana, termasuk Rizky sendiri. Berbeda dengan Dian yang entah mengapa menghampiri Pak Rizky dan kemudian menikamnya ketika lelaki itu menoleh tepat setelah Dian memanggil namanya.
Semua itu terjadi begitu saja seakan hanya anginlah yang dapat menerbangkannya. Angin yang tega menggores ingatan mengerikan dalam memori orang-orang yang bersaksi pada tragedi itu.
“Sa...saya tidak bermaksud melakukannya, Pak!!” Dian bersikeras dalam jawabannya, berharap penjelasannya dapat meyakinkan orang yang menginterogasinya bahwa dirinya benar-benar...
“Kamu beneran cuman nggak sengaja aja?” Pertanyaan Bapak berseragam kepolisian mengandung rasa tidak yakin, apa yang dibicarakan Dian seolah memutarbalikkan fakta. Bahkan di balik sorot matanya Dian sama sekali tak terlihat sedang kepanikan. Panik dalam air mukanya hanya sebagai pemanis. Raut wajah itu tak pernah hanya menggunakan satu ekspresi saja.
“Saya memang tak sengaja melakukannya, Pak!”
“Lalu kenapa kamu menusuk korban?! Itu sudah menjadi bukti yang nyata kalo kamu sudah melakukan percobaan pembunuhan!”
“Sungguh, Pak, saya memang tidak bermaksud menusuk Pak Rizky. Saya kayak tidak sadar saat melakukannya, seolah dikendalikan!”
“Memangnya kamu abis kesurupan jadi nggak sadar?!”
“Saya juga bingung, Pak!” Bapak kepolisian itu memandang penuh selidik, Dian terlalu pintar untuk menjadi pelaku yang bodoh.
“Dari beberapa saksi sudah jelas, tangan kamu yang memegang pisau dan menusuk korban. Berarti tetap saja kamu bersalah atas tindakan ini!!”
Dian tak menjawab. Hanya bisa memandang bapak kepolisian itu yang mulai berbicara dengan kaprodi Perbaikan, Bu Innarotul A’yun. Interogasi itu terjeda sesaat ketika satu orang pemain muncul memasuki ruangan.
Mendengar keadaan Pak Rizky sudah sedikit membaik meski telah mendapatkan tiga kali tusukan pada perutnya, dan kesadaran Pak Rizky belum sepenuhnya terlihat, Dian merasa lega saat mengetahuinya.
“Pak Rizky dinyatakan tak sadarkan diri ketika ambulans segera membawanya ke rumah sakit.” Bu Innarotul A’yun mengucapkannya sedikit tegas, pandangannya berfokus pada Dian sepenuhnya.
“Kamu tahu, kan, perbuatan kamu sangat tidak manusiawi!?” Dian tak menjawab, kini ia terlihat menundukkan kepala. Sepertinya tidak ada maaf bagi Dian. Kejadian itu telah tenggelam bersama waktu, namun rasa sesal selalu ada menyertai entah kapan waktu kan menua.
Akhirnya Dian dijatuhi hukuman penjara selama sepuluh tahun, itupun ada sesuatu yang butuh dipertimbangkan. Dan membuat Dian harus menginap di lapas kelas IIB Kepolisian Kabupaten Tuban.
Satu malam serasa satu abad bagi Dian, dia tak menyantap makanan yang disediakan untuk para penghuni sel tahanan. Dia hanya diam, seolah rasa lapar telah kandas bersamaan dengan aksinya membunuh Rizky.
Jam menunjukkan pukul 00:01 WIB, kedua mata Dian tak pernah tertutup hendak tertidur. Bayangan menghujam pikirannya, akan tetapi tidak ada penyesalan mengenai apa yang telah ia lakukan terhadap dosen Matematika itu.
Dari sekian jam dalam satu hari, entah mengapa penjaga sel tahanan menghampirinya. Apa yang merasukinya sehingga Dian dipanggil untuk pertama kalinya setelah di penjara. Ia pikir dirinya tidak akan bebas. Mulai kedepannya ia akan berpikir bahwasanya satu tahun ke depan dan seterusnya ya
“Saudari Dian Rustiyani? Anda dinyatakan terbebas bersyarat!” Seorang sipir penjara memasuki jeruji, memandang Dian tanpa ekspresi. Pernyataan itu membelenggu dirinya, dengan segenap rasa yang menyimpulkan satu hal.
Aku bebas?! Mana mungkin?!! Orang-orang Wakil Tuhan itu mengatakan aku dipenjara seumur hidup setelah aku menusuk Pak Rizky?!
Dian masih berada di posisi menelungkupkan kedua kakinya dengan kedua tangannya macam anak yang depresi, dengan wajah masih mendongak menatap hal yang tak terduga telah terjadi. Sipir penjara tidak memalingkan wajahnya menatap balik Dian.
“Saya...bebas, Pak??”
“Nggak semudah itu. Bersyarat berarti ada alasan mengapa kamu dibebaskan hari ini.” Jelas sipir itu, yang kemudian mengantarkan Dian menuju ke rumah sakit tempat Rizky mendapatkan pertolongan pertama.
Awalnya sipir penjara itu hanya membawa Dian sampai di pintu masuk lapas, dan bertemulah Dian dengan Bu Wanda. Dosen yang begitu mengagumi kemampuan Dian di bidangnya.
Akan tetapi kali ini agak berbeda, Bu Wanda seperti habis menangis, ia menyambut Dian dengan spontan memeluknya.
“Dian! Syukurlah kamu baik-baik saja.”
“Bu, saya kan, di penjara?! Kenapa saya harus dibebaskan?!” Dian tidak mengerti dengan hukum waktu yang sesingkat itu menyegelnya di dalam jeruji besi hanya 12 jam. Dan yang lebih mengejutkan lagi adalah jawaban yang dilontarkan Bu Wanda.
“Pak Rizky ingin bertemu denganmu, Dian.”
Mana mungkin! Perlu banyak masa untuk memahami perkataan dekannya itu. Dia telah menusuk Pak Rizky tanpa ampun yang hampir membuat lelaki berkacamata itu kehilangan nyawa.
Jika mendengar kondisi Pak Rizky yang semakin membaik pasca percobaan penusukan itu Dian akan dengan mudah menerimanya, namun jika soal Rizky sendiri yang tiba-tiba ingin bertemu dengan dirinya Dian berharap ia tidak mendengar kabar itu lagi di hari berikutnya.
“Apa karena itu, Bu, saya dibebaskan?” Hanya itu yang bisa ia ucapkan. Pertanyaan yang sekaligus menjadi satu alasan mengapa kini ia bersama dekan fakultas paling lemah lembut di kampusnya itu.
Bu Wanda hanya mengangguk, dan kembali mengajak Dian menemui dosen matematika itu. Selama deru mobil merangkak di atas jalan raya menuju rumah sakit umum, degup jantung Dian tak bisa diterjemahkan.
Apa dia akan bertemu dengan orang yang baru saja ia bunuh dengan semudah ini? Takdirkah ini? Atau hanya sebuah kebetulan yang disisipkan Dewi Fortuna dalam kehidupan Dian.
Bu Wanda pun membiarkan Dian yang memasuki ruangan. Sementara beliau hanya bisa mengantarkan dari balik pintu saja, sempat Dian bertanya mengapa, namun dekan berhati selembut salju itu hanya menggeleng. Katanya dia sudah bertemu Pak Rizky untuk ketiga kalinya.
“Dan sekarang giliran kamu.” Lanjutnya, “Pak Rizky ingin bertemu sama kamu.” Ucapan itu masih membuat Dian tidak habis pikir. Rizky pasti menyuruhnya tembak diri setelah ini bila ia masih berani menemuinya. Namun keadaan tidak mengizinkannya tetap diam, alih-alih Bu Wanda tetap mendesaknya. Dengan ekspresi yang mengatakan Rizky benar-benar sedang ingin bertemu dengannya.
Waktu demi waktu termakan oleh detik masa, Dian pun memasuki ruangan. Seperti sedang mengendap-endap takut jika Pak Rizky terbangun karenanya. Namun ekspektasi itu langsung tergantikan dengan satu pernyataan bahwa dosen matematikanya itu telah terjaga. Wajahnya sedang menoleh memandang ke arah jendela yang berada tepat di sebelah ranjang pasien.
Rasanya Dian hanya sedang mengunjungi seorang pria yang tak dikenalnya. “Kenapa kamu kesini!” Suara itu telah membuat bulu kuduk Dian berdiri. Jantungnya serasa berhenti sesaat. Suara Pak Rizky seperti sedang mengintimidasi.
Ia tahu pria berkacamata itu tidak pernah memalingkan wajahnya dari jendela. Tak pernah mau menoleh menatapnya yang mulai duduk di sebelahnya.
“Saya seharusnya dipenjara hari ini, Pak.” Ujar Dian tanpa beban, ia hanya bermaksud mengatakan sebab kedatangannya.
“Dengan siapa!”
“Gimana, Pak?”
“Kamu ke sini sama siapa.”
“Dengan Bu Wanda, Pak.”
“Kenapa kamu melakukan ini, Dian.”
“....”
“Kenapa kamu melakukannya...di depan manusia-manusia itu!”
“Mereka tidak akan paham tujuanmu menuju ke bumi. Tak ku sangka kau menjadi dosen di tempat kumuh seperti itu!” Nada bicara Dian berubah drastis. Tatapannya masih menunggu kapan lawan bicaranya kan memandang menoleh ke arahnya.
“Setidaknya IAINU Tuban menjadi tempat persembunyian terbaik. Bisa-bisanya kau dapat menemukanku!”
“Tidak usah beralasan! Jejakmu tak bisa dihapus dari tanah Venus!”
Rizky pun menoleh cepat, memandang Dian yang ternyata sudah berada dekat dengan wajahnya.
“Aku telah menemukanmu, Sparta D Smith!” Ucap Dian kemudian sembari bangkit dari duduknya, dan menghunuskan pisau ke arah perut Rizky. Pria berkacamata itu mengerang ganjil, lantas menoleh menatap ke arah luka yang seharusnya telah dibalut dengan kain kasa kini harus basah kembali bersama baju pasien dengan warna merah yang semakin merembes, mengembalikan waktu di dalam kelas FEBI semester tiga.End~
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Cerpen Fantasi : Cinta Yang Terbagi
Krótkie OpowiadaniaCerita fantasi yang tak begitu panjang juga tak begitu rumit namun menghadirkan misteri yang tak akan pernah usai Kumpulan Cerpen Fantasi 1. Berbagai genre 2. Nama tokoh yang sama tidak mempengaruhi cerita 3. Sad ending semi happy ending Saran, k...