Lelaki Berambut Putih

65 1 0
                                    

Aku menghabiskan liburan sekolahku dengan membaca buku di rumah, sembari menikmati cokelat panas di atas meja belajar. Setiap hari aku melakukan hal yang sama, hingga membuat kakak tertuaku jengkel dengan kegiatanku yang—baginya—amat sangat tidak bermanfaat dan tidak membantu (dalam artian aku ada di rumah hanya bisa membuat rumah jadi berantakan—meski kenyataannya seperti itu—selalu membawa barang yang cukup banyak) maka kakak tertuaku pun mengajakku pergi keluar rumah. Saat hendak masuk ke mobil di kursi samping kemudi, aku pun bertanya akan kemana kita.

“Agar kau tidak selalu menganggur di rumah, akan aku ajak kau ke suatu tempat. Aku yakin kau pasti suka”.

“Tapi, Kak. Aku belum menyelesaikan membacaku—“.

“Jangan membantah! Turuti perintahku!”. Sejak dulu aku sudah menuruti perintahmu, kak! Gerutuhku dalam hati. Akhirnya mobil kakak mulai  melaju menyelusuri jalan raya, beberapa pohon di pinggir jalan terus terlihat, memperlihatkan keasrian sebuah kota Tuban yang indah. Aku tak tahu kemanakah Kakak kan membawaku, lantas aku menuruti saja apa kata dia. Menemui seseorang yang tidak kukenal adalah paling kubenci semasa hidupku menjadi adiknya. Tapi apalah daya, kukira ia akan melakukan sesuatu yang membuatku makin membenci dia

“Sebenarnya kita mau kemana, sih, kak!? Aku tanya dari tadi nggak kakak jawab?!”. Tanyaku lagi, setelah diam beberapa saat kemudian, kakak yang sedang mengemudi, melirikku dengan kening mengerut, merasa terganggu. Kemudian jawaban yang kuharapkan pun muncul, meski di luar dugaanku.

“Liburanmu masih lama,’kan? Sudah kubilang tadi, aku akan ngajak kamu ke rumah seseorang. Dia lumayan enak kalau diajak curhat, masih satu keluarga dengan kita. Kamu pasti menyukainya”. Mendengar ucapan kakak tertuaku aku sedikit lega, sekaligus tak sabar akan dipertemukan oleh saudara dari keluarga jauh. Entah mengapa akhir-akhir ini aku mudah menyukai sesuatu, seakan aku adalah makhluk paling bahagia di dunia ini (terlalu bahagia).

Mobil kakak berhenti di depan sebuah rumah megah bak istana, yang terletak di perempatan jalan menuju Ibukota. Rumah yang kini berada di depanku adalah rumah yang belum pernah aku temui semasa hidupku bersama kakak-kakakku. Bagiku ada sesuatu yang sedang disembunyikan kakak dariku, namun aku mencoba untuk  tidak menghiraukannya. Toh, kini aku sedang menikmati liburan semester yang sudah aku dambakan sebelumnya, aku harus memanfaatkannya dengan baik. Sekiranya liburan kali ini harus lebih menyenangkan dari pada aku harus terpikirkan dengan hal-hal aneh.

Kali ini aku dibuat terkejut karenanya, ada beberapa—bahkan semua—kakak-kakakku dan adikku berada di sana, dengan suasana kekeluargaan yang terasa hangat. Berada di ruang tamu yang luasnya mengalahkan satu rumah, keindahan ruang tamu itu pun rasanya bertema sebuah kerajaan. Kerajaan yang dibangkitkan lagi setelah mengarungi beberapa abad dalam keadaan tidur.

Banyak anggota keluarga dari garis Ayah dan Ibu yang belum pernah aku temui selama ini, mereka menyorakku dengan perasaan bahagia, merasa telah dipertemukan oleh orang yang telah lama didambakan keberadaannya—gede rasa—aku sedikit bingung namun aku juga ikut bahagia. Belum sempat aku bertanya kakak tertuaku sudah bergabung dengan beberapa sepupunya. Aku pun mencari adikku, yang langsung disambutnya dengan menyebut namaku.

“Kak Camella!”.

“Kelvin?! Ternyata kamu sudah ada di sini?! Sama siapa?!”. Kejutku tak percaya, setidaknya dia memberitahuku saat hendak menuju ke rumah besar nan luas ini. “Aku bersama Kak Mario, kak”. Jawab anak berumur empat belas tahun itu,”Kenapa nggak ngajak Kak Camella?!”. Cetusku, dengan nada yang seakan telah tertinggal dari semua rencana, tapi bukan hal yang hendak kupermasalahkan.

“Gimana, ya, kak, ya? Sebenarnya Kelvin, sih, niatnya mau ngajak Kak Camella…”. Dan aku tahu kalau di balik nadanya ada kebohongan berskala ricter yang nggak mungkin aku bantah dengan mudah,dia memang suka beralasan, pernah suatu hari aku membeli sekotak cokelat, saat aku tinggal sebentar ke kamar mandi, baru saja aku hendak memakannya tiba-tiba kotak itu hanya tinggal kotak kosong dengan bekas coklat sudah dimakan. Tak mungkin aku   bakal   mengira   anak tetangga yang akan memakannya, pikiranku langsung tertuju pada Kelvin.

Antologi Cerpen Fantasi : Cinta Yang Terbagi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang