02.

754 122 8
                                    

Tidak seperti biasanya, hari ini Harvor terbangun bukan hanya dengan kepala yang berat tetapi juga hati yang berat. Kepingan ingatan mengerikan akan apa yang sudah ia lakukan semalam terus menghantuinya, membebaninya dengan secumuk rasa bersalah yang terus menggerogoti.

Mungkin Harvor memang tidak mengingat dengan pasti bagaimana ia bisa berakhir dengan menyentuh Noara, sahabatnya sendiri. Tetapi satu hal yang ia yakini, ia telah berdosa karena sudah menyentuh sahabatnya.

Keyakinan Harvor diperkuat dengan Noara yang terus menghindarinya selama seharian penuh, tidak seperti biasanya perempuan itu mengabaikannya.

Harvor tidak memiliki pilihan lain selain menunggu perempuan itu pulang. Mereka harus membicarakan apa yang sudah terjadi kemarin.

Tak berapa lama, sebuah mobil hitam yang sangat ia kenali memasuki pekarangan rumah Noara.

"Mengapa kau menghindariku?" Tanpa menunggu lebih lama, Harvor menyergap perempuan itu ketika ia turun dari mobil.

"I'm not, aku sedang bekerja," elaknya tampak begitu tenang ketika menghadapi Harvor, seolah memang tidak ada yang terjadi kepada mereka semalam.

"Kau mengabaikan panggilanku."

"Karena aku sedang bekerja, hari ini aku cukup sibuk," jawabnya, kemudian dengan sengaja mengalihkan pembicaraan, "Suhu tubuhmu sudah normal? Atau kau masih demam dan pusing?"

Selalu pertanyaan yang sama. Noara memang selalu menyempatkan waktu untuk memastikan keadaannya setiap kali Harvor mabuk atau berulah.

"Hanya itu yang ingin kau tanyakan?"

"Memangnya ada keluhan lain?"

"Semalam," jeda Harvor menatap Noara lekat, "Apa yang terjadi di antara kita? Apa aku sudah memaksamu?"

Tak dipungkiri, Harvor takut.

Ada rasa takut dalam diri Harvor, jika sampai dirinya telah memaksa atau melakukan pemaksaan pada Noara dalam keadaan tidak sadar.

"Tidak terjadi apa pun di antara kita," sangkal Noara tanpa sedikitpun keraguan, "Kau mabuk dan seperti biasa aku hanya mengantarmu pulang."

"Bohong."

"Untuk apa aku berbohong?"

Noara memang pandai berpura-pura. Jika Harvor tidak mengingatnya, mungkin ia akan percaya dengan tampang polos Noara itu.

"Lalu mengapa aku tidak mengenakan pakaian saat aku terbangun?"

"Kau berkata seolah-olah aku sudah melecehkanmu." Sontak tawa Noara pecah. "Semalam kau muntah dan aku terpaksa harus membuka pakaianmu untuk membersihkannya."

"Noara, kau pikir aku sebodoh itu?"

"Ya, hilangkan pikiran konyolmu, Arve." Menggeleng pelan kemudian berjalan melewati Harvor.

"Mengapa kau berbohong? Jelas, aku mengingat semuanya, apa yang terjadi semalam dan bagaimana, aku mengingatnya dengan jelas. Tidak ada yang perlu kau sangkal lagi."

Tanpa berbalik, perempuan itu menghentikan langkahnya. "Sepertinya kau masih mabuk, sebaiknya kau pulang dan beristirahat," secara tidak langsung mengusir pria itu.

"Noa," panggilan pertama, namun Noara tidak menggubrisnya.

"Noa," lagi, Harvor memanggilnya untuk yang kedua kali berharap perempuan itu berhenti dan menoleh ke arahnya.

"Noara," kali ini Harvor melangkah besar guna mengejar Noara, menahan tangan perempuan itu. "I'm sorry," gumamnya penuh penyesalan.

Noara hanya diam, ia tidak berbalik dan membiarkan Harvor melanjutkan ucapannya.

"Berikan aku kesempatan untuk bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi kemarin, atas semua perbuatanku."

"Bertanggung jawab?" Kali ini Noara menoleh, menatap Harvor dengan sorot kecewa. "Kau bahkan tidak bisa mengurus dirimu sendiri tetapi kau ingin bertanggung jawab dan mengurusku?"

Bukan kalimat menusuk penuh fakta itu yang menampar Harvor, tetapi sorot kekecewaan yang dilayangkan perempuan itulah yang membuat Harvor diam tak bergeming.

Noara, perempuan yang selalu menatapnya bangga, kali ini tampak sangat kecewa padanya. Harvor telah mengecewakannya.

"Jika kau memang ingin mempertanggung jawabkan semuanya, berubah dan uruslah dirimu sendiri, Arve."

"Noa, aku akan terus merasa bersalah kepadamu."

"Simpan rasa bersalahmu, lagi pula semalam aku tidak melakukannya karena terpaksa. Anggap semuanya impas, kita sama-sama menguntungkan."

"Impas?" Harvor tidak percaya dengan apa yang ia dengar, bagaimana Noara bisa dengan kejam menyuruh Harvor untuk menganggapnya sebagai keuntungan bersama.

"Lupakan saja apa yang sudah terjadi, jika kau terus bersikap seperti ini maka kedepannya aku akan merasa canggung."

"Noa!" kali ini Harvor meraih lengan Noara yang akan beranjak pergi, membuat lengan bajunya tersingkap, memperlihatkan beberapa luka samar namun masih bisa Harvor lihat dengan jelas.

Menyadari itu sontak Noara menarik tangannya, namun dengan cepat Harvor menahannya. "Apa ini karena aku?" tanyanya memastikan.

"Arve!" teriak Noara, menarik tangannya dan segera menutupi bekas luka itu dengan lengan kemejanya, perempuan itu tampak sangat marah.

"Noara, apa aku yang telah melukaimu?"

Tidak. Harvor tidak melukainya, pria itu tidak melakukan kesalahan apa pun selain menghancurkan hatinya.

"Bukan, pergilah."

Kini Harvor tidak menahan perempuan itu lagi, ia membiarkannya pergi begitu saja.

Apa ini?

Sebenarnya apa yang sudah terjadi semalam? Apa mungkin Harvor yang melukai perempuan itu, jika iya maka Harvor tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.

"Arve, pulanglah," ucap Noara kembali menghentikan langkahnya, "Kau tidak melukaiku, tidak sedikitpun. Apa yang terjadi semalam hanyalah sebuah kecelakaan kecil, tidak perlu merasa bersalah karena aku juga tidak merasa dirugikan."

"Noara, kau sahabatku. Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya dan tidak merasa bersalah."

Sahabat, ya mereka hanya sahabat. Tetapi mirisnya, Noara menganggap pria itu lebih dari sahabat.

Sejak lama ia sudah mencintai Harvor, ia melihat Harvor sebagai seorang pria bukan sahabat.

Sejak lama ia sudah mencintai Harvor, ia melihat Harvor sebagai seorang pria bukan sahabat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Someone Else's HandsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang