Prolog

951 129 2
                                    

Konon, katanya pria hanya jatuh cinta satu kali dalam hidupnya dan sisanya hanya melanjutkan hidup. Setelah jatuh pada satu perempuan yang menjadi cintanya, perempuan lain yang datang hanya akan menjadi bayang-bayang. Teganya tanpa melupakan atau berusaha untuk melupakan cintanya, seorang pria bisa menjalin hubungan baru dengan sosok lain.

Jahat? Mereka sebut itu dengan melanjutkan hidup. Jika itu memang benar, lalu bagaimana dengan perempuan lain yang datang? Terlepas dari itu, pria memiliki dua perempuan di hidupnya–yang menjadi cintanya dan pilihannya.

Meski sudah sangat mencintai seorang perempuan terkadang bukan sosok perempuan itu yang ia cari, tak peduli seberapa lama kamu menemaninya maka ia tetap akan meninggalkanmu demi pilihannya.

Begitu juga sebaliknya, tak peduli seberapa yakin ia memilihmu, bisa saja cintanya lebih besar untuk perempuan yang menjadi cintanya. Kita sebut itu sebagai, masa lalu yang dipaksa untuk selesai.

"Bagaimana menurutmu?" Tangan pria itu berhenti memainkan rambut panjang kekasihnya, tertawa geli dengan apa yang baru saja ia dengar.

"Omong kosong." Tanpa bangkit dari tidurnya, ia bisa melihat jelas mata indah yang sangat ia sukai itu–warna hazelnya tampak selaras dengan warna rambutnya. "Kamu percaya dengan semua itu?"

"Jika itu memang benar, maka aku ingin menjadi perempuan yang dicintai."

"Bukan perempuan yang dipilih?"

"Menjadi bayang-bayang seseorang itu menyakitkan."

"Bukankah tidak bersama orang yang kita cintai itu jauh lebih menyakitkan?"

Perempuan itu menggeleng kecil, "Hidup dengan seseorang yang masih mencintai masa lalunya itu akan sangat menyesakan karena tidak ada ruang dan tempat untukmu, semua ruang itu telah dipenuhi oleh masa lalunya."

"Kamu tidak perlu mengkhawatirkan itu karena kamu akan selalu menjadi keduanya."

Bangkit dari tidurnya, ia menggenggam erat tangan perempuannya, tampak sebuah cincin pertunangan yang melingkari jari keduanya.

Ia sudah memantapkan hatinya untuk mencintai perempuan itu di dalam hidupnya. Tak pernah terbayang dalam hidupnya akan berpisah dan kehilangan perempuan itu.

"Tidak," perempuan itu menarik pelan tangannya yang digenggam, "Jika suatu saat kita harus berpisah, maka kamu harus melanjutkan hidupmu, melupakan aku, dan mencintai perempuan lain."

Senyum itu...

Senyum yang sangat ia rindukan.

Senyum yang selalu membuatnya jatuh cinta setiap melihatnya.

"Bagaimana jika aku tidak ingin melakukannya? Aku tidak bisa," tolaknya berusaha untuk meyakinkan. Namun perempuan itu justru terlihat menjauh.

"Kamu bisa, Harvor."

"Tidak," berusaha untuk menahan kepergian perempuan itu namun ia tidak bisa melakukannya tatkala beberapa pria berbadan besar menyeret paksa perempuan itu menjauh.

Sangat jauh dan ia tidak bisa mengejarnya.

Air mata membanjiri wajah yang cantik itu, "Lupakan aku..." gumamnya untuk yang terakhir kali sebelum ledakan besar terjadi, api yang berkobar melahap beberapa pria dan perempuan yang ia cintai.

"Tidak!!" teriaknya dengan sangat frustasi, membuat siapa pun yang mendengar tau jika pria itu sedang berduka. Ia berusaha untuk melangka menembus kobaran api yang melahap cintanya namun langkahnya terhalang.

Dunianya hancur saat itu juga, tangisnya tak bisa berhenti mengiringi teriakan demi teriakan yang terus menyesali kepergian perempuan yang ia cintai.

Harvor...

Harvor...

Seolah baru mendapatkan kembali jiwanya, Harvor terbangun dengan nafas berat dan sesak. Tubuh polosnya terasa kaku dengan berbagai alat yang menempel.

"Harvor?" panggil sebuah suara membuat Harvor mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, mendapati wajah keluarganya yang tampak mengkhawatirkannya.

"Kamu sudah siuman?" berbagai pertanyaan terlontar namun tidak satupun pertanyaan bisa Harvor jawab.

Telapak tangan seketika merasa hangat tatkala seseorang menggenggamnya dengan erat.

"Kamu masih hidup? Aku pikir kamu mati..." lirih Noara–sahabat masa kecilnya, dengan mata yang berkaca.

Hanya untuk beberapa detik perempuan itu bisa menahan air matanya sebelum menangis histeris, bahkan lebih histeris dari Abbey, ibu kandungnya sendiri.

Tangis yang memenuhi ruangan itu sontak terhenti akibat satu pertanyaan yang keluar dari mulut Harvor. Pertanyaan yang membuat seluruh orang saling melempar pandang dan menatap Harvor dengan bingung.

"Di mana Halvet?" tanya pria itu terbata, berusaha mengedarkan pandangannya mencari sosok yang ia maksud namun tak mendapati keberadaannya.

"Di mana Halvet?" tanya pria itu terbata, berusaha mengedarkan pandangannya mencari sosok yang ia maksud namun tak mendapati keberadaannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Someone Else's HandsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang