16 / jauh

604 76 10
                                    

Tipe ideal. Berbicara soal hal ini, Jona tidak punya kriteria khusus seperti yang orang-orang asumsikan. Tidak bohong, jika tengah bertukar tatap dengan perempuan cantik, jantungnya mendadak bisa berdegup lebih cepat. Normal, syukurnya dia masih tertarik dengan yang cantik.

Cantik itu relative, tapi jika harus menyebutkan siapa perempuan cantik yang pertama kali muncul di benaknya?

Karin. Cantik itu memang relative tapi kecantikan Karin itu absolut. Bahkan pria dengan selera paling tinggi sekalipun susah menolak pesona perempuan ini. Tidak beda halnya dengan Jona. Berulang kali dihadapkan dengan pilihan, yang ada di depan mata atau yang ada dibenaknya.

Giselle? Ah Jona tidak bisa mengungkapkannya. Perempuan itu cantik tentu saja, tapi cantik yang tidak akan Ia ungkap kemana-mana dan hanya akan disimpan sendiri.

Kepalanya pening. Dua hari lalu, Jonatan meninggalkan Giselle termenung di villanya seorang diri. Urusan mencari sarapan mendadak batal. Dia lantas pergi dengan kepulan emosi yang meledak-ledak setelah Giselle mengeluarkan asumsi yang mematahkan hatinya.

Dua hari ini juga dia tidak membalas pesan terakhir gadis itu. Giselle mengirimkan pesan berisi permintaan maaf atas apa yang dia ucapkan. Jona hanya membaca tanpa minat.

Persoalan pekerjaan barunya seakan ikut berlomba-lomba mengusik kepalanya. Pria itu masih perlu adaptasi dan belajar banyak soal bidang yang akan diurusnya ini. Belum lagi Bang Kiki yang mempertanyakan kepulangan Karin yang sangat buru-buru itu. Jona harus bilang apa? Memangnya kenapa Karin harus pergi seperti itu?

Jujur saja, Jona tidak pernah merencanakan dalam hidupnya akan mengungkapkan perasaan kepada Giselle, terlebih lagi dengan cara seperti itu? Ia pikir, jarak yang menghalangi mereka akan cukup mengaburkan hatinya. Ia pikir sudah tidak ada lagi kesempatan melainkan dirinya sendiri yang harus sendiri mengurus perasaannya.

Tapi pertemuan mereka yang benar-benar tidak terencana meruntuhkan upayanya untuk mengaburkan Giselle dari benaknya. Kejadian ini bersamaan dengan permasalahannya dengan Karin seakan-akan menyiksanya bertubi-tubi. Berulang kali Jona mengepalkan tangannya begitu teringat apa yang telah dilakukannya di atas perahu. Giselle benar, tindakannya kemarin begitu impulsive, tapi Ia juga tidak menyesalinya. Bagai ada salah satu beban berat yang selama ini tersimpan kemudian terangkat begitu laki-laki itu menyatakan semuanya.

Walaupun tetap saja, banyak beban baru yang diterimanya seusai melakukan itu.

Karin💩

Rinnn coba dibales dulu
Maafin aku huhu
Bang kiki tanya kamu kenapa pulang buru2
Nanti kamu kesini lagi kita main ya rin
Aku ganti traktiran yang gajadi waktu itu

Gausah jo
Aku masih mau dinginin kepala
Kamu kl ada yg mau diselesaiin, selesain dlu aja :)
*sticker*

"Tai."

Jona melempar asal ponselnya ke atas kasur.

Karin benar. Ia juga perlu mendinginkan kepala. Kenapa semuanya harus serunyam ini sih?

•••

Giselle tidak terlihat senang. Nini memandangi sahabatnya yang sedang duduk dihadapannya menunggu pesanan makan siang mereka di salah satu mall di Seminyak. Mereka sudah meninggalkan villa di Ubud dan kembali ke daerah sekitar Kuta.

Awalnya Nini yang menyarankan mereka untuk tidak berada jauh dari tengah kota Denpasar, mengingat Ia ingin menghabiskan lebih banyak waktu menikmati hiburan malam sedangkan di Ubud tidak cukup banyak tempat yang menyediakan itu. Nini pikir Giselle akan menolak lantaran sahabatnya itu pernah bilang ingin sekaligus menjelajahi wilayah Kintamani dan menikmati suasana pegunungan di sana, tapi Giselle malah langsung mengiyakan tanpa semangat.

Perendinate Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang