18 / untitled

534 69 18
                                    

"Jo! Gue bisa kok bawa motor. Nepi aja ya, biar gantian."

Giselle sedikit menaikkan volume suaranya. Semilir angin yang menghantam mereka menjadi peraduan yang membuat gadis itu meringis.

Langit sudah menggelap. Jalanan tidak terlalu ramai. Jarak cafe ke hotelnya memang tidak terlalu jauh hanya kurang lebih 1,5 km. Tapi gadis itu tetap tidak tega. Jonatan memang kelihatan lebih segar setelah menyantap beberapa menu di cafe tadi, tapi tetap saja Giselle yakin pria itu belum 100% pulih apalagi untuk membawa kendaraan di malam hari yang notabene butuh fokus lebih.

Jona menggeleng. Giselle mendengar Jona setengah berteriak 'tidak usah' yang bersatu padu dengan berisiknya angin malam dan suara kendaraan lain di sekitar mereka.

Awalnya Jona menolak keras saat Giselle sudah menawarkan diri untuk membawa motornya hingga ke hotel. Sehingga mau tidak mau Ia menurut saja hingga kini terduduk di jok belakang motor itu.

Salah satu tangannya yang menggenggam ujung jaket jeans pria itu ditarik melingkari pinggang Jonatan. Giselle yang terkesiap menurut saja sebelum akhirnya meloloskan kembali tangannya dan kembali menggenggam ujung jaketnya saja.

Dari belakang Giselle dapat melihat Jona menyeringai.

Ia secara tiba-tiba menyentuh leher Jona yang membuat laki-laki itu menaikkan bahunya dan menghindar, Jona mendelik dari kaca spionnya. Konfrontasi Giselle yang tiba-tiba itu rupanya mengagetkannya.

"Kenapa Sel?"

Suhu tubuh pria itu lebih hangat dari miliknya, gadis itu sudah memastikan lewat leher Jona.

"Lo kayaknya demam deh."

Jona menghiraukannya dan fokus saja menatap jalan di depan.

"Jo kalo gak kuat bilang ya, jangan ngajak gue celaka!" pekik Giselle tepat di depan telinga pria itu setelah dilihatnya Jona tidak merespon, takutnya dia tidak mendengar.

"Pegangan!" seru pria itu.

"Udah deket kan ini, udah tenang aja!" lanjutnya lagi.

Giselle berdecak, dengan sangat tidak ikhlas memajukan badannya ke depan dan memasukkan telapak tangannya ke kantung jaket Jonatan.

Jona menunduk mencari letak kedua tangan Giselle yang sudah nyaman bersembunyi dibalik kantung jaketnya. Senyumannya merekah. Jika begini, rasanya menyetir sampe Jakarta juga Jona kuat kok.

"Nah gitu nurut!"

•••

"Coba aja."

Giselle menolak untuk menatap pria di depannya ini. Yang tanpa Ia sadari seluruh otot Jona saat ini mendadak kaku. Mata laki-laki itu tidak mau lepas dari milik lawan bicaranya yang tidak sedetik pun menatapnya.

Jona tidak tahu jika perempuan itu menunggunya untuk berbicara. Sementara, lidahnya kini kelu. Isi kepalanya mendadak kosong tidak seperti saat dalam perjalanan ke sini, rasanya sudah banyak sekali kata-kata yang ia susun mendadak menguap tidak dapat diteruskan oleh neuron-neuron otaknya.

Giselle pada akhirnya mengangkat kepala. Gadis itu menaikkan kedua alisnya begitu mereka saling bersitatap dan kemudian dengan canggung kembali melirik kanan dan kiri.

"Aduh anjir gue lupa mau ngomong apa," maki Jona pada diri sendiri.

Bahu Giselle meluruh, seakan tidak menyangka dengan kata-kata yang keluar dari mulut pria itu.

"Yaudah gausah." Air muka gadis itu mendadak masam. Tidak tahu saja roh mana yang merasukinya hingga mendadak Giselle sedikit berharap seperti ini. Ia mengalihkan kepalanya ke mana saja, menatap keluar jendela sebelum Jona kembali berbicara.

Kata-kata itu akhirnya keluar dari mulut Jona dengan satu tarikan napas. "Gi, aku cuma gak mau nyesel seumur hidup kalo gak pernah bilang aku suka sama kamu."

"Gak tau sejak kapan dan karna apa. I might sound stupid karena apa yang udah aku lakuin ke kamu selama ini bener-bener gak mencerminkan perasaan aku."

"..."

Giselle memberanikan diri untuk menatap manik mata pria yang sedang menatapnya.

"Aku cuma... bodoh, Gi. Gue tolol banget kalo soal cinta-cintaan. Im sure everyone cursed at me."

"Now that we're apart from each other, aku gamau buang-buang waktu lagi. That's all." Jona mengakhirinya dengan senyuman miring tanpa repot-repot mengecek reaksi yang Giselle berikan. Karena gadis itu kini hanya terduduk lesu di kursinya dengan ekspresi wajah yang sangat tidak terbaca.

Giselle berulang kali mengulum bibirnya. Jona meraih kembali gelas di atas meja dan meneguknya sampai habis.

"What was the question again?"

•••

Giselle melepaskan helm cadangan milik Jona dan menentengnya sebentar sampai pria itu menurunkan standar motornya.

Mereka berhenti di depan lobby utama.

"Helmnya, Gi?" Jona mengulurkan tangannya mencoba meraih helmnya yang masih dalam kungkungan tangan Giselle.

Giselle terlihat memikirkan sesuatu. "Ah gue gak bisa!"

Jona melotot, suara Giselle yang mendadak tinggi mengundang beberapa pasang mata di sekitar mereka untuk menoleh, termasuk salah satu security yang langsung siaga andai saja kedua insan ini hendak bersitegang. "Gak bisa apa?"

"Gue gak bisa biarin lo pulang sekarang. Look, sekarang jam berapa. Lets say, perjalanan lo butuh waktu dua jam setengah, berarti bisa-bisa lo nyampe jam 10 malem! Dalam kondisi badan lo anget dan lemes. Gue gak mau ya tiba-tiba besok pagi dipanggil buat jadi saksi sebagai orang yang terakhir liat lo."

Jona mengulum senyumnya, "Jangan begitu mikirnya."

"Terus?" Laki-laki itu sengaja menggantungkan pertanyaannya di udara, sengaja menunggu Giselle selesai dengan pergelutan batinnya.

Serambut merah mendadak naik ke atas kepalanya, tercetak jelas di kulit pipinya yang putih. "Ng... kalo mau yaudah nginep dulu aja semalem. Nini gaakan pulang kok malem ini, dia udah bilang."

•••

"What was the question again?"

"Udah, Gi. Aku gasanggup. Kamu simpulin aja sendiri."

Giselle gantian membulatkan mata tidak percaya. "You're such a coward, Jo."

"I am." Bukannya membantah, Jona malah mengamini tuduhan itu.

"Then, sorry i can't say anything."

*JOO GBLK

•••

Confessnya part 18 cuy. Ntar pacarannya part brp lg coba? Eh tapi emang pacaran?

Ini bayar utang dulu ya guys...

Perendinate Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang