Yoongi melangkahkan kakinya dengan pelan namun pasti keluar dari gedung ER menuju ke arah lorong yang hendak membawanya ke taman belakang rumah sakit. Manik hitamnya sekilas memperhatikan area cafetaria yang berada tak jauh dari sana dan menangkap dua sosok yang cukup familiar tengah berbaris antri hendak memesan.
"Seokjin-ssi..." Lirih Yoongi pelan ketika ia sudah berada di belakang salah satu sosok tadi.
"Ah... Kkamjjagia..." Seokjin yang merasa kaget langsung mengeluarkan kealayannya yang membuat Taehyung langsung beringsut ke samping Yoongi dan berharap ia tidak mengenal Seokjin.
"Ah... Yoongi hyung juga ingin kopi?" Taehyung pun langsung mengalihkan perhatiannya dari tingkah memalukan sang kakak ke arah Yoongi.
"Ani. Akan ke Jimin?"
"Ne Yoongi-ssi." Seokjin yang sudah waraspun menimpali pertanyaan Yoongi.
"Pergilah ke ER, Bed 2B. Namjoon disana." Kata Yoongi tenang sembari hendak melangkah pergi.
"Eh... Namjoon kenapa ada di ER? Apa dia sakit? Kecelakaan? Bagaimana kau tau?" Seokjin langsung mengeluarkan 1001 pertanyaan yang keluar di kepalanya.
Taehyung sendiri langsung menyeret Seokjin dan berjalan cepat ke arah ER.
"Tenang, dia masih hidup." Kalian pasti tau ini siapa.
***
Dideret bed pesakitan itu Seokjin yang memang masih dilanda kecemasan semakin memacu langkahnya yang diikuti oleh Taehyung sang adik. Sesampainya di nomor tempat tidur yang disebut oleh si sulung Min tadi, disana nampak Namjoon yang tengah memejamkan matanya dengan tampang yang cukup mengkhawatirkan.
Namjoon memang tampak telah diberikan pertolongan pertama akan luka-lukanya, namun lebam yang cukup membiru di pipi kirinya, serta kassa yang menutupi pelipis kiri, jangan lupakan tangan kirinya yang difiksasi erat kebahunya agar mengurangi pergerakannya dan bajunya yang cukup ternoda oleh darah dan tanah jelas membuat saudara Namjoon itu semakin khawatir.
"Astaga! Kim Namjoon!" Seokjin spontan memanggil nama Namjoon dengan nada keterkejutan setelah melihat kondisi adiknya yang paling kalem itu.
"Hyung... Kenapa di sini?" Jawab Namjoon polos ketika melihat kakaknya berada disana.
"Harusnya itu hyung yang katakan! Kenapa kau berada di sini dengan keadaan yang babak belur begini!" Ok, Seokjin sekarang sepertinya cukup emosi dengan kepolosan sang adik.
"Em... e... Sedikit berdebat dengan temanku..." Namjoon mengalihkan pandangannya dari sang kakak ke arah adiknya yang mengekor di belakang kakak sulungnya itu.
"Kim Namjoon! Jika berbohong, cari alasan yang lebih logis!" Nada yang digunakan Seokjin pun tampak lebih marah dengan volume sedikit keras.
"Namjoon hyung, kau tak apa? Apa ada yang masih sakit?" Ucap Taehyung mengalihkan pembicaraan kedua kakaknya tersebut.
"Nan gwaenchanh-a." Lirih Namjoon membalas perkataan sang adik.
"Kau berhutang penjelasan padaku Kim Namjoon." Seokjin yang masih mencoba mengulik kejadian yang menimpa adiknya tersebut. Seokjin tahu bahwasanya Namjoon bukanlah tipe anak yang akan mencari masalah dan cenderung anak yang pendiam, berbeda dengan si bungsu yang memang cukup sering memancing keributan.
"Sudah hyung, ini masih dirumah sakit. Kita bahas hal tersebut nanti, ok?" Taehyung yang mengerti akan kekhawatiran hyungnya itu mencoba mengakhiri topik tersebut. Ia ingat, tak baik untuk berdebat di dalam ruang ER yang memang sudah penuh sesak dengan orang-orang yang memiliki masalah masing-masing.
Keheningan meliputi ketiga bersaudara itu sejenak, hingga mereka dihampiri oleh dua orang pria paruh baya yang salah satunya tampak berjubah putih layaknya dokter yang memang lumrah bila ditemui di gedung ini. Namun pria lainnya yang mengenakan setelan rapi yang membuat alis sedikit berkerut karena heran, mengapa pria yang cocok berada di kantor malah berkeliaran di sini?
"Permisi, apakah anda wali dari pasien Kim Namjoon?" Pria yang mengenakan jubah dokter tersebut bertanya pada mereka.
"Ne, saya hyungnya."
"Saya adalah dokter yang bertanggung jawab. Pasien Namjoon keadaannya sudah cukup stabil, dari hasil pemeriksaan tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
"Ehem.." Pria bersetelan yang tengah berdiri di samping sang dokter membuat suara elang untuk mengingatkan tujuan sang dokter dan dirinya kemari.
"Ah, ye. Hwejang-nim ingin bertemu dengan anda." Dokter itu mengalihkan pembicaraan kepada pria tersebut.
"Perkenalkan saya Choi Siwon, teman lama Seo-joon." Pria yang mengaku bernama Choi Siwon itu mengulurkan tangan pertanda ingin bersalaman dan dibalas oleh Seokjin. Seokjin merasa sedikit aneh melihat orang yang ia rasa cukup penting dan sibuk itu rela kemari untuk menemui mereka.
"Tak usah bingung. Aku memang mengenal keluarga Seo-joon sejak lama. Mereka sudah seperti keluargaku sendiri, apalagi si bandel Yoongi yang dengan mulut kasarnya tiba-tiba menelponku dan menyuruhku kemari." Ucap Siwon dengan sedikit memijat pelipisnya mengingat kelakuan Yoongi yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri itu.
"Ah. Intinya, Pasien Namjoon akan dipindahkan ke ruang rawat inap, jadi mari aku akan mengantar kalian." Siwon teringat dengan tujuannya kemari.
Bed itu pun kembali sibuk dengan bantuan dokter dan perawat yang membantu memindahkan sang pesakit ke ruangan lain.
***
Ceklek...
Suara pintu tertutup seakan menggema di ruang rawat VIP tersebut. Jimin yang tengah sendirian itu entah mengapa perasaannya menjadi mellow sendiri. Televisi yang tengah menayangkan acara yang sebenarnya cukup menarik, kini ia abaikan. Jimin berpaling melirik ke arah jendela yang mana menampilkan nuansa kota Seoul yang masih tampak ramai dengan kerlap-kerlip lampu khas perkotaan.
Ada kalanya dalam benak Jimin melintas keinginan untuk bisa bermain bersama teman-teman nya hingga larut malam. Entah bercengkrama di cafe, jalan-jalan di taman daerah sungai Han, ataupun bersenang-senang karaoke. Namun Jimin sadar bahwa hal itu tak mungkin terwujud. Rasa iri melihat Jungkook yang tengah bermain basket ataupun sang kembaran yang saat ini mungkin tengah berkumpul dengan teman-temannya dan pamer keahlian mengendarai sepeda roda duanya. Ya... Rasa iri itu tiba-tiba menyusup ke hatinya.
"Haahhh... Dasar lemah..." Monolog Jimin tanpa disadari sang pemilik raga.
Ucapan spontan itu menurut Jimin memang tak salah. Ia memang selalu benci akan tubuh lemahnya ini. Penyakitan dan tak boleh terlalu lelah, atau ia mungkin akan berjabat tangan dengan malaikat maut. Bangun di ER maupun kamar inap memang sudah terlampau sering Jimin hadapi sejak Jimin mulai bisa mengingat. Terlebih memori masa kecilnya yang sebagian besar berlatar belakang rumah pesakitan ini.
Terkadang Jimin ingin menyerah mengenai tubuhnya, tetapi ia mengerti bahwa keluarganya tak akan pernah setuju. Jimin sudah terlampau lelah, tak ingin membuat keluarganya repot dan khawatir terus menerus akan dirinya. Namun, akankah itu jalan terbaik. Ia takut apabila dengan jalan menempuh pilihan itu, kesedihan malah yang akan muncul diantara mereka. Jimin takut.
***
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Mi Casa [BTS]
FanfictionCerita ringan tentang keluarga. Bagaiman jika Min bersaudara dengan semua tingkah absurdnya dijadikan satu dengan para Kim bersaudara yang malah lebih abstrak? Berisi keegoisan diri, trauma dan masa lalu yang menghatui. Apakah mereka berhasil meng...