Langit mendung saat Hana dan Jihan melangkah keluar gedung kantor. Untungnya pekerjaan mereka bisa tepat waktu sehingga keduanya bisa pulang lebih cepat.
Jihan pamit lebih dulu karena sudah dijemput sang pacar yang katanya mereka mau kencan sementara Hana memilih untuk pulang. Ia menaiki mobilnya yang sudah keluar dari bengkel.
Saat Hana memasuki mobil ke dalam garasi rumahnya bersamaan dengan turunnya hujan. Motor Aryan ternyata sudah terparkir menandakan kalau cowok itu sudah pulang dari sekolah.
Suasana sepi. Ia tidak menemukan keberadaan Aryan. Kemungkinan cowok itu sedang berada di dalam kamar. Hana menebak pasti Aryan sedang belajar, tapi saat membuka pintu ia menemukan meja belajar yang kosong.
Saat ia melangkah mendekat ternyata Aryan sedang tidur dengan selimut yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Hana melihat jam tangannya yang masih menunjukkan pukul setengah enam sore. Tumben sekali Aryan sudah tidur, apa kegiatan sekolahnya sedang padat-padatnya?
"Aryan?" Hana mencoba memanggil cowok itu. Namun, Aryan hanya bergeming bahkan sekedar bergerak pun tidak.
Hana merasa ada yang salah hingga ia beranikan menyentuh dahi Aryan. Suhu tubuhnya panas membuat ia tahu bahwa cowok itu sedang demam.
"Aryan, bangun," bisik Hana sembari menepuk pelan bahunya. Cowok itu hanya membuka matanya. Tatapannya tampak sayu, tidak secerah biasanya. Hana jadi merindukan mata bulat Aryan ketika menatapnya.
"Badan kamu panas. Sudah minum obat?"
Aryan bangkit dan bersender di tepi ranjang.
"Belum." Tadinya saat pulang sekolah ia hanya merasa lelah dan mengistirahatkan tubuhnya sebentar, entah kenapa malah menjadi panas.
"Makan?"
Aryan menggeleng. Ia teringat bahwa tadi siang pun ia lupa makan. Pulang sekolah lanjut rapat dengan anggota OSIS lalu pulang.
"Aku buatin kamu bubur dulu."
Hana hendak beranjak sebelum Aryan memegang tangannya.
"Maaf ngerepotin, padahal kakak baru pulang," ucapnya. Hana menggeleng.
"Ngerepotin apa sih? Udah, kamu tiduran dulu."
Hana keluar kamar untuk membuat bubur. Aryan kembali tidur meski kepalanya sekarang mulai berdenyut.
Di dapur, Hana menyiapkan bubur. Ia jadi teringat Danis kalau sakit. Bedanya adiknya itu tidak mau memakan bubur saat sakit, katanya lembek dan membuatnya tambah mual. Jadinya ia hanya memberikan buah untuknya.
Hana baru saja memikirkan Danis saat tiba-tiba ponselnya bergetar yang nyatanya video call dari anak itu.
"Halo, Sis!" Sapanya saat ia melihat wajah Hana.
"Hei," balas Hana sambil sibuk memotong sayur untuk tambahan bubur.
"Lagi ngapain sih, adiknya nelpon malah sibuk sendiri?"
"Oh, gue lagi bikin bubur buat Aryan."
"Oya, btw gue belom ada ngubungi Abang ipar. Mana dia?"
"Lagi sakit pas pulang sekolah."
"Yah, kasian. Pasti lo gak perhatian sama dia. Makanya jangan terlalu sibuk."
"Lo jangan bikin mood gue buruk ya, Nis!"
Danis tertawa. Senang sudah bisa menggoda kakaknya. Sebenarnya ia rindu sekali.
"Besok gue pulang."
Hana langsung melirik Danis sekilas. Anak itu ternyata sudah berada di kosannya.
"Belum libur kok pulang?"
"Omongan lo kayak gak suka gue balik, ck!"
Kali ini Hana yang terkekeh. Sudah lama tidak bertengkar dengan Danis. Kalau keduanya sudah bertemu pasti ada saja yang di debatkan.
"Gue ada tugas sebenarnya."
"Tugas apa sampe lo pulang?"
"Ada deh."
"Najis, sok misterius!"
"Eh, btw lo udah pindah ke rumah kita dulu?"
Hana mengangguk sambil memasukkan sayuran ke dalam kukusan.
"Cieee, takut ketangkap basah Mama sama Papa ya?"
"Heh, omongan lo. Masih kecil juga!"
"Lah, suami lo aja seumuran sama gue kak."
Hana hanya melotot sebal. Danis menang kali ini.
"Yaudah, gue mau telpon Mama."
"Kalo dah sampe rumah kasih tau lo."
"Siap bos!"
Danis mematikan sambungannya dan Hana melanjutkan aktivitas memasak bubur. Hujan semakin deras di luar sana membuat matanya berat.
Setelah selesai ia langsung menuju kamar dengan membawa bubur hangat.
"Yan, bangun. Makan bubur dulu ya." Hana menepuk pelan bahu Aryan. Cowok itu terbangun. Sambil memegangi kepalanya yang berdenyut ia bersender di tepi kasur.
"Kamu habiskan buburnya abis itu minum obat."
Aryan mengangguk lalu mengambil mangkuk bubur dari tangan Hana. Ia bukan cowok manja yang harus minta suapi seseorang selagi sakit. Namun, baru beberapa sendok ia meletakkan mangkuk itu di meja.
"Loh, kok udahan? Buburnya masih banyak, Yan."
"Rasanya hambar. Maaf, Kak."
Hana tidak tersinggung. Ia memaklumi sebab kalau ia sakit pun semua makanan tidak ada rasanya.
"Yaudah, kamu minum obatnya." Hana memberikan kapsul pada Aryan. Cowok itu pun meminumnya.
Hana memperhatikan Aryan sembari tersenyum. Ternyata suami brondongnya ini sangat patuh dan tidak merengek kalau lagi sakit.
"Kak, makasih ya."
"Iya."
"Aku boleh minta sesuatu sama kakak gak?"
Lantas Hana langsung tercekat. Ia selalu deg-degan apabila Aryan meminta sesuatu darinya.
"Kamu mau minta apa?"
"Kakak temani aku tidur ya. Aku capek dan pusing sekali," ucapnya dengan tatapan sayu, tapi malah membuat jantung Hana berdetak cepat.
Hana mengangguk lalu naik ke tempat tidur. Aryan sudah berbaring selagi Hana menempatkan diri di samping cowok itu. Tiba-tiba saja kedua tangan Aryan memeluk pinggangnya di balik selimut. Matanya terpejam dengan nafas teratur, suhu panas dari Aryan malah membuatnya merinding. Ia berdoa semoga cowok itu tidak mendengar detak jantungnya yang sudah tak terkendalikan. Wajah Aryan yang tepat berada di lehernya membuatnya sulit bernafas. Baru kali ini ia salah tingkah dengan cowok yang lagi sakit.
***
Kenalin, adik Hana, Danis...
Jangan lupa vote ya
KAMU SEDANG MEMBACA
My Brondong Husband (Proses Terbit)
ФанфикBagi Hana tak masalah jika harus dijodohkan dengan pilihan kedua orang tuanya. Namun, ia tidak menyangka jika calon suaminya adalah seorang bocah SMA yang masih berusia belasan.