14. Prioritas

2K 148 3
                                    

Mobil Hana sudah sampai di garasi rumah mamanya, hanya saja ia belum mau keluar. Sejak ia bertemu Jay seketika kenangan bersama cowok itu terputar kembali, juga saat Jay mengucapkan kata pisah sebelum akhirnya ia dicampakkan.

Ia menghela nafas dan merubah raut wajahnya agar tidak terlihat aneh saat masuk rumah.

Sambil menenteng belanjaan di kedua tangannya, ia masuk ke dalam rumah setelah memberi salam.

Aroma makanan langsung tercium wangi. Ia yakin mamanya memasak masakan yang spesial untuk Danis.

Setelah meletakkan barang belanjaan di meja dekat televisi, ia menghampiri mamanya di dapur.

"Ma." Hana langsung memeluk wanita itu dari belakang.

"Kamu loh ngagetin aja," gerutu mamanya sambil sibuk mengaduk kuah kari. Hana hanya tersenyum lalu melepaskan pelukannya dan memilih duduk di kursi meja makan.

"Mana Danis?"

"Tadi setelah mandi kayaknya tidur di kamar. Kamu suruh bangun gih!"

"Oke." Hana baru akan beranjak sebelum mamanya bertanya kembali.

"Kamu gak bareng Aryan?"

"Lagi sibuk di sekolah. Katanya nyusul aja nanti."

Mamanya mengangguk mengerti.

Hana segera menuju kamarnya Danis. Ia langsung masuk begitu saja saat tahu pintunya tidak terkunci.

Dan benar, cowok itu sedang terlelap dengan earphone di kedua telinganya. Kebiasaan kalau dia tidur.

"Eh, bangun Lo." Hana langsung melepas earphone Danis membuat sosoknya menggeliat. Ia bahkan hampir terkena tinju adiknya kalau saja ia tidak segera menghindar.

"Heh, kebo banget sih. Itu Mama manggil lo!"

Danis membuka matanya lalu tersenyum melihat sosok kakaknya. Ia bangkit lalu memeluk Hana.

"Kangen banget gue sama lo, kak!"

Diam-diam Hana tersenyum. Meski kadang mereka jarang akur, dalam artian selalu saja berdebat, tapi Hana senang Danis selalu merindukannya.

"Iya, iya, gue emang ngangenin. Yaudah buru bangun!"

Danis berdecak sambil manyun.

"Abang ipar mana?" Matanya melihat ke arah pintu. Sebetulnya ia ingin sekali bertemu Aryan sebab pas mereka menikah ia belum bisa pulang.

"Masih di sekolah."

Lantas Danis melihat jam dinding kamarnya.

"Udah mau maghrib. Ngapain?"

"Besok ada pensi di sekolahnya. Kebetulan dia ketua OSIS. Harus stand by memastikan persiapannya."

"Keren weh!" Danis betulan takjub.

"Kamu tuh udah mau maghrib masih molor, pamali."

Danis berdecak. "Lo lama-lama kayak Mama." Ia pun bangkit dari kasurnya memilih ke kamar mandi untuk mencuci muka.

Hana pun keluar dari kamar Danis. Ia kemudian masuk ke dalam kamarnya yang berada di sebelah kamar adiknya.

"Kenapa lo muncul lagi sih Jay." Hana bermonolog sendiri. Sejak tadi ia terus mengingat cowok itu.

Ia jadi teringat barang-barang yang pernah Jay berikan padanya ada di kardus besar yang ada di atas lemari pakaiannya. Ia pun mengambil kursi dan mulai naik untuk mengambil kardus itu. Niatnya ingin ia buang biar tidak ada lagi kenangan bersama Jay. Namun, kursinya bergoyang sebelum tangannya sampai ke kardus membuat keseimbangan tubuhnya hilang.

Sebelum tubuhnya benar-benar jatuh ke lantai seseorang menangkapnya, tapi sepertinya orang itu tidak kuat menahan tubuhnya hingga mereka jatuh bersama di lantai.

"Kakak gak apa-apa?"

Menyadari bahwa yang menyelamatkannya itu adalah Aryan. Tubuh Hana menghimpit tubuh cowok itu. Belum sempat ia bangkit, posisi keduanya malah dipergoki oleh Danis.

"Ups, sorry, gue datang di saat yang gak tepat ya," ucapnya dengan tersenyum jahil.

Hana dan Aryan langsung bangkit. Dan cewek itu melotot ke arah Danis.

"Hai, Bang!" sapa Danis sok akrab. Ia menyodorkan tangannya.

"Gue Danis, adik kak Hana yang paling ganteng."

Aryan menjabat tangan Danis sambil tersenyum.

"Aryan. Maaf gue belum kenalan sama lo dulu."

"Its okay." Danis tiba-tiba mengalungkan lengannya di bahu Aryan.

"Gue mau ngomong sama lo," ucapnya sembari mengajak Aryan keluar dari kamar. Sementara Hana memegang dadanya. Kaget dan malu dengan situasi yang baru saja terjadi terlebih malah kepergok Danis.

***

Mereka pun makan bersama. Di tengah makan mamanya menanyakan sesuatu yang membuat Hana maupun Aryan hampir tidak bisa menelan lagi.

"Kalian kapan mau kasih Mama cucu?"

Sontak Hana langsung terbatuk sebab ia baru saja menyendokan makanan ke dalam mulutnya. Aryan malah menurunkan sendoknya. Sementara Danis terkekeh melihat raut terkejut dua pasangan itu.

"Ma, kenapa tiba-tiba nanyain itu sih. Kita lagi makan loh, untung aku gak kesedak."

"Mama pengen tau aja, kalian gak berencana menunda, kan?"

Hana menoleh ke arah Aryan yang nyatanya ikut memandangnya.

"Gak, Ma. Nanti kalau udah waktunya pasti kami kasih tahu," jawab Aryan kelewat tenang. Hana malu dan lega secara bersamaan.

"Maaf ya, Mama bikin kamu gak nyaman. Wajar, kan mama nanya itu?"

Aryan mengangguk maklum.

"Aku boleh nikah muda juga gak, Ma?" tanya Danis tiba-tiba yang langsung di pelototi mamanya.

"Belajar aja yang benar!"

Danis hanya bersungut-sungut. Sebenarnya ia hanya bercanda, tapi mamanya menganggap sungguhan.

"Oya, lo sampai kapan di rumah?"

Danis malah memilih menatap mamanya. Meminta mamanya yang menjelaskan.

"Dia pindah sekolah, Han," jawab mamanya. Lantas Hana menyenggol lengan Danis.

"Serius lo?"

"Iya."

"Masalah apa lagi?"

"Mama yang nyuruh aku pindah kok."

Hana kembali menatap mamanya untuk menuntut penjelasan.

"Kok Mama pindahin Danis?"

"Mama kesepian Han, sejak kalian pindah mama sendiri, papa kamu jarang pulang karna tugas. Jadi mama butuh Danis nemenin Mama."

Alasan sederhana sebenarnya, tapi mungkin jika Hana jadi mamanya akan seperti itu.

"Pindah kemana?"

"Sekolahnya Bang Aryan," sahut Danis.

"Hah?"

"Biar Danis ada teman juga di sana," jelas mamanya.

Hana tidak tahu apakah ini berita baik atau buruk. Apakah kepindahan Danis bakal membawa manfaat untuk ia dan Aryan atau malah sebaliknya?

"Kak Hana tenang, gue bakal jadi siswa yang baik kok," bisik Danis. Hana malah memutar bola matanya.

***













Komen dong, ceritanya aneh gak? Aku jadi gak pede nih

Jangan lupa vote ya

My Brondong Husband (Proses Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang