"Pak Lakis, Bapak Yan meminta Bapak untuk segera datang ke rumah besar."
Dua minggu.
Sudah dua minggu lebih Jan Lakis tidak pulang ke kondominiumnya. Bahkan malam tadi, dia harus menginap di kantor papanya. Pekerjaannya yang merangkap dua peran benar-benar membludak. Sulit sekali bagi Jan Lakis menemukan sehari kosong untuk berstirahat.
Dan hari ini, akan menjadi hari terlelah yang akan Jan Lakis hadapi setelah hari-hari melelahkan sebelumnya.
"Beliau sudah empat kali menelepon saya. Mengatakan bahwa Pak Lakis untuk segera datang ke rumah besar atau setidaknya mengangkat teleponnya," imbuh personal assistant Jan Lakis.
Pria yang dituju itu tidak langsung memberikan respon apa pun. Di meja kerjanya, pria itu tampak diam bernapas teratur seraya memejamkan mata dengan tangan memijat pangkal hidungnya. Tak lama, dahi pria itu kian merenyit dalam.
Terlihat sekali betapa sakitnya kepala pria itu akibat pekerjaan yang tiada habisnya dan juga kekurangan waktu untuk bisa beristirahat.
Kemeja linen yang belum sempat diganti sejak malam, ia gulung lengannya hingga ke siku dan tampak mengusut. Kemudian, pria itu melonggarkan dasi di lehernya, membuka dua kancing teratas kemejanya yang terasa mencekik.
"Tampaknya Bapak hendak membahas berita pagi ini, Pak Lakis." PA-nya kembali bersuara.
Tentu. Tentu saja mereka harus membahas berita tidak menyenangkan itu.
Berita itu buruk. Sangat buruk.
Pagi ini, kabar tidak terduga datang bagaikan badai yang menggeruduk secara brutal. Begitu mendadak, tak terkendali dan sulit dijinakkan. Kedatangannya sangat mengejutkan hingga Jan Lakis tidak mampu melakukan apa pun. Ini semua di luar ekspetasinya. Tidak sempat dia membayangkan bahwa berita itu tercium oleh publik secepat ini.
Berita mengenai Jan Lakis yang telah menikahi Samira Noa sebulan lalu telah terpublikasi dan menyebar dengan cepat pagi ini.
Pantas saja sejak subuh tadi, Asta maupun PA-nya sibuk meneleponnya, begitu pula dengan orang-orang di sekitar Jan Lakis yang turut terkena dampak 'sibuk' akibat beredarnya berita tersebut.
Pantas saja sejak subuh tadi, Asta maupun PA-nya sibuk meneleponnya, begitu pula dengan orang-orang di sekitar Jan Lakis yang turut terkena dampak 'sibuk' akibat beredarnya berita tersebut.
Sebagai akibatnya, karena kelelahan dan mendadaknya berita tersebut, Jan Lakis merasakan kepalanya hampir pecah. Tentu saja itu juga dialami oleh manager-nya yang sekarang jauh lebih sibuk menerima telepon sana-sini, omelan panjang, menghadiri rapat dadakan dengan direktur agensi hingga melakukan pers conference dadakan pada para reporter yang kini telah mengepung kantor agensi, dan bahkan sebagian lainnya berada di rumah Jan Lakis.
Bila berbicara mengenai 'rumah' Jan Lakis, itu artinya tentu saja kondominium di mana Jan Lakis kini tinggal bersama Samira Noa.
Ah, benar!
Bagaimana dengan keadaan wanita itu? Pastilah dia masih ada di kondominium dan tidak bisa pergi ke mana pun mengingat kini telah banyak reporter yang menunggu klarifikasinya di sana.
Jan Lakis membuka kedua matanya. Dia melirik sejenak pada personal assistant-nya yang menunggu responnya sejak tadi. Bawahannya yang satu itu juga tampak cukup lelah dalam menangani situasi saat ini. Namun, Jan Lakis tidak memberikan ekspresi apa pun seperti turut prihatin pada PA-nya. Sebab, tentu saja Jan Lakis jauh lebih lelah dari pada siapa pun dan ia tidak memiliki waktu untuk berempati saat ini.
"Keluar." Jan Lakis malah mengusirnya.
"Lalu bagaimana—"
Jan Lakis langsung menukasnya dengan sikap tak peduli, dia malah kembali menindak lanjut review proposal yang masuk pagi ini. "Tidak usah menjawab apa pun. Abaikan saja. Dia seharusnya tahu ini semua karena kelalaiannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
CALL ME YOUR WIFE, LAKIS! ✔️
RomanceKehidupan pernikahan persis seperti yang dibayangkan oleh Jan Lakis; sulit, pahit dan menyakitkan. Dengan penggambaran yang melekat seperti itu di kepalanya membuat Lakis sukar menerima perjodohan yang ia jalani. Pria itu begitu skeptis dan dingin t...